UNIDA Campus |
Intisari Buku “A
Critical Survey Of Islamization Of Knowledge”
Oleh: M
Shohibul Mujtaba
Latar Belakang
Di Barat, dikotomi dan separasi ilmu-ilmu agama (religious
sciences) dan ilmu-ilmu sekuler (secular sciences) sudah lama terjadi yaitu
sejak sekularisme dianut oleh masyarakat Barat sekitar abad ke-17 M. Sejak itu
ihwal duniawi (termasuk ilmu pengetahuan umum/sekuler) dibedakan dan dipisahkan
dari ihwal agamawi.
Di sekolah Barat murid-murid dilarang berdoa di ruang kelas sebelum
pelajaran dimulai. Jika pun ada program studi agama (termasuk Islam) di
universitas Barat, itu dimaksudkan sebagai kajian akademik murni dan tidak ada
kaitannya dengan peningkatan ketakwaan dan penguatan iman. Kemajuan di bidang
ilmu dan teknologi kedokteran misalnya banyak “disalahgunakan” untuk praktik
aborsi dan euthanasia dalam masyarakat Barat.
Berbagai fenomena di Barat itulah tampaknya yang menggerakkan para
cendikiawan Muslim dalam mencetuskan ide islamisasi ilmu pengetahuan. Kita
memahami kegelisahan Mereka. Mereka ingin mengembalikan sains dan teknologi
serta penggunaannya ke jalan sesuai ajaran agama (Islam). Perlu ditanyakan: Kenapa,
apa dan bagaimana ide islamisasi pengetahuan yang dicanangkan oleh para tokoh
penggagas Islamisasi tersebut direalisasikan? Kemudian dalam kesimpulan,
penulis akan berusaha memaparkan dimana letak persamaan dan perbedaan ide
mereka.
Pembahasan
Secara garis besar penulis buku ini berusaha mendeskripsikan tiga
hal terkait Islamisasi. Pertama, alasan kenapa perlu Islamisasi pengetahuan.
Kedua, apa itu Islamisasi pengetahuan. Ketiga, Bagaimana cara mengislamisasi
pengetahuan.
Pertama. Kenapa perlu Islamisasi?
1.
A.K Brohi: Pengetahuan yang ada saat ini tidak bisa lagi dikatakan
terlepas dari suatu ideologi tertentu. Artinya semua pengetahuan yang ada pasti
memuat ideologi tertentu. Hal ini terjadi karena ilmu pengetahuan dikembangkan
oleh orang yang anti agama, sehingga asumsi-asumsi spekulatif mereka telah
menjadikan ilmu terlepas dari kerangka berpikir Islami. Hal ini jelas berakibat
buruk pada worldview para cendikian Muslim, dimana mereka sejatinya belajar
supaya menambah keimanan dan tidak dikhotomis dalam melihat ilmu pengetahuan.
Namun dalam realitanya mereka dibuat supaya menjauh dari visi Islam (tauhid).
Maka dari itu, perlu bagi segenap Muslim membawa kembali pengetahuan modern
kepada fitrahnya, yakni pengetahuan yang berlandaskan Worldview Islam.
2.
Abdul Hamid Abu Sulayman: Melalui Islamisasi Ilmu pengetahuan,
ummat akan menjadi sadar akan kebutuhan dan pentingnya prestasi ilmiah dan
budaya.Masalah ummat yang begitu besar saat ini adalah masalah dunia intelektual
dan metodologi yang terhegemoni oleh peradaban barat, hal ini terjadi karena
kurangnya pengetahuan umat akan warisan keilmuan para pendahulunya ditambah
dengan penyimpangan dalam sistem pendidikan yang disebabkan oleh westernisasi.
Oleh karena itu perlu adanya model pendidikan yang Islami yang itu menerapkan
Islamisasi ilmu pengetahuan.Selain itu juga masalah kondisi keterbelakangan, kelemahan
dan kemalasanyang melanda kemayoritas umat, stagnasi intelektual, tidak adanya
ijtihad, tidak adanya kemajuan budaya dan keterasingan dari norma-norma dasar
peradaban Islam.
3.
Islmail Raji al-Faruqi: 1) metodologi Barat membuang wahyu sama
sekali sebagai sumber ilmu pengetahuan dan hanya mengandalkan logika semata. 2)
Sekularisasi agama yang berakibat pada sekularisasi pendidikan Islam. 3) Kurangnya
visi yang jelas untuk memandu tingkah laku muslim. Hal inilah yang menjadikan
Muslim perlu Islamisasi ilmu pengetahuan.
4.
Syed Muhummad Naquib al-Attas: Muslim memiliki dua problem:
Internal dan Eksternal. 1) Internal meliputi hilangnya adab. 2) Eksternal
meliputi kesalahan mengkonsepsikan pengetahuan yang ini bersumber dari Barat,
yaitu memperlakukan wahyu sebagaiaman fenomena alami (bukan sakralitas).
5.
Thaha Jabir al-Alwani: Muslim sekarang memisahakan pembacaan atas
dua hal penting yang telah Allah berikan: Wahyu (al-Quran) dan alam. Padahal,
pertama, dengan pembacaan atas al-Quran, manusia akan tahu apa yang menjadi
tanggungjawabnya terhadap Allah dan kedududukannya yang tinggi di dunia. Hal
ini menjadi masalah, karena akan menjadikan manusia hanya ingat pada Tuhan dan
menganggap agama itu penting saat ia butuh. Kedua, ketika manusia tidak mau
membaca alam, manusia akan melupakan tanggungjawabnya sebagai khalifah di muka
bumi. Pemisahan ini terjadi karena pengaruh westernisasi dalam dunia
intelektual, maka dari itu diperlukan Islamisasi ilmu pengetahuan suapya tidak
terjadi pemisahan antara keduanya.
Kedua: Apa itu Islamisasi?
1.
A.K Brohi: penulisan ulang buku standar yang itu berasakan pada
prinsip-pinsip yang selaras dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
al-Quran. Ia juga berarti menata ulang elemen-elemen pengetahuan modern dengan
membuang hal-hal yang berbahaya bagi agama dan kehidupan manusia.
2.
Abdul Hamid Abu Sulayman: keinginan untuk menata ulang pengetahuan,
budaya dan peradaban supaya terarah pada gerakan Islam dan memperkuat karakter
muslim untuk merumuskan rencana dakwah. Secara mendasar, Islamisasi pengetahuan
ini berfungsi sebagai kritik dan ujian terhadap disiplin ilmu modern supaya
tetap di dalam cahaya Islam.
3.
Fazlur Rahman: Menolak ide Islamisasi pengetahuan. Ide dia bukan
pengetahuannya yang di-Islamisasi, tapi pemikiran Muslimlah yang mesti
diislamisasi. Karena orang yang pemikirannya sudah terislamisasi dia akan
membuat hukum yang baik, ilmu pengetahuan pengetahuan dan menguji tradisinya
sendiri di samping pengetahuan modern.
4.
Ismail Raji al-Faruqi: menata kembali seluruh warisan keilmuan
manusia dengan titik dasar Islam (tauhid). Untuk itu, Muslim harus membagi
ulang, menyusun ulang, memikirkan ulang alasan-alasan dan menghubungkannya
kepada data disiplin keilmuan, mengevalusasi ulang kesimpulan-kesimpulan, meproyeksiakan
ulang tujuan dari disiplin ilmu tertentu sehingga ilmu tersebut mendukung visi
keislaman.
5.
Syed Muhammad Naquib al-Attas: Islamisasi ilmu berarti pembebasan
ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari
makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler. Dan dalam pandangan
al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran
dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan internal.
Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical), mitologis
(mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national
cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang
kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan
jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya
lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian
dan kedamaian dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan
asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of
evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah (original
nature).
6.
Taha Jabir al-Alwani: aktif terlibat dalam kegiatan intelektual,
pemeriksaan,ringkasan, korelasi dan publikasi dari perspektif pandangan Islam
tentang kehidupan, manusia dan alam semesta.
Ketiga: Bagaimana menjalankan Islamisasi?
1.
A.K Brohi: penulisan ulang buku teks standar yang itu berasakan
pada prinsip-pinsip yang selaras dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
al-Quran. Ia juga berarti menata ulang elemen-elemen pengetahuan modern dengan
membuang hal-hal yang berbahaya bagi agama dan kehidupan manusia.
2.
Abdul Hamid Abu Sulayman: Pertama, penguasaan atas ilmu pengetahuan
modern. Tujuannya adalah untuk mengasimilasi disiplin ilmu tersebut supaya
dapat melayani ideologi dan visi Islam. Mengintegrasikan antara visi Islam dengan
ilmu modern yang bermanfaat, sehingga dapat menjadi solusi bagi kehidupan
modern.
3.
Ismail Raji al-Faruqi: Ada 12 langkah: 1) penguasaan disiplin
keilmuan modern sekaligus kategorinya. 2) survey terhadap disiplin ilmu
tersebut. 3) Penguasaan atas warisan keilmuan Islam dan persiapan untuk
mengklsifikasikan tulisannya. 4) Menganalisanya. 5) menetapkan yang relevan
dengan Islam menjadi suatu disiplin. 6) mengkritik penilaian disiplin ilmu
modern. 7) mengkritik warisan keilmuan Islam. 8) meninjau permasalahan umat
Islam. 9) meninjau permasalah manusia secara umum. 10) melakukan analisis dan
sisntesis yang kreatif. 11) perombakan disiplin ilmu dibawah cara pandang Islam
dalam bentuk buku teks universitas. 12) penyebaran islamisasi ilmu pengetahuan.
4.
Syed Muhammad Naquib al-Attas: melibatkan proses verifikasi dan
devolusi, dan itu terpisah dari elemen westernisasi, kemudian menanamkan elemen
Islami sebagai penggantinya. Islamisasi ilmu (seperti di atas) juga berarti
pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi
sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler. Dan dalam
pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi
pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan
internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical),
mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural
tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah
pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang
condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong
untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian
dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya.Jadi
Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu
proses pengembalian kepada fitrah (original nature). Selain itu Dalam pandangan
al-Attas, sebelum Islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus
dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini
ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara
bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka,
islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran.( al-Attas, Islam
and Secularism…, p. 45. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and
Practice of Syed M. Naquib Al-Attas…, p. 313. Abdullah Ahmad Na’im, et al., Pemikiran
Islam Kontemporer…, p. 340). Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah
Islam merupakan pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan
agama semata, melainkan karena istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke
dalam bahasa apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa
lain, maka istilah-istilah itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya.Karena
itu, istilah Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan pengertian
lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum
Muhammad saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari
penyempurnaan agama Islam”, di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa
sejak saat itu Islam telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan
tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan. (Abdullah ahmad
na’im, et al.,Pemikiran Islam Kontempore.r…, p. 341).
5.
Taha Jabir al-Alwani: 1) Mengartikulasikan paradigma keilmuan
Islam, yang itu berbasis Tauhid. 2) Mengembangkan metodologi Qurani. 3)
metodologi yang ada disesuaikan dengan al-Quran. 4) metodologi yang ada
disesuaikan dengan Sunnah. 5) mengkaji ulang khazanah keilmuan para Ulama. 6)
Penyesuaian dengan warisan intelektual Barat.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa para tokoh
Islamisasi di atas sepakat bahwa pengetahuan modern saat ini tidak bebas nilai.
Pengetahuan modern itu sangat dipengaruhi oleh ideologi atau wordlview
tertentu. Yang mejadi perbedaan para tokoh penggagas ide Islamisasi terletak
pada apa definisi dan aplikasi dari Islamisasi tersebut.