Keberhasilan para oreintalis dalam mengkritik dan medekonstruksi Bible
menjadi primadona di Barat sebagai sebuah prestasi akademis yang diakui. Semua
kalangan cendekiawan, scientis, dan filosof berbondong-bondong menyumbangkan karyanya dalam bidang ini.
Akhirnya mereka bertemu dengan Islam sebagai salah satu agama terbesar yang
dianut sebagian besar manusia. Dianggap sebagai tantangan baru, mereka mulai
untuk mencoba melakukan penelitian dan pengkajian terhadap al Qur’an yang
dianggap sebagai dasar hukum dan teologi Islam. Dengan cara yang sama mereka
pakai dalam meneliti Bible mereka mengkritisi al Qur’an dari berbagai macam
aspek. Diantaranya dari aspek tafsir, pengambilan hukum dan juga orisinalitas
teks al Qur’an. Khusus dari aspek yang terakhir disebutkan muncul tokoh-tokoh
seperti Abraham Geiger, Theodor Noldeke, Arthur Jefferey, W. Montgomery Watt.
Dalam pembahasan yang singkat ini, penulis ingin membahas tentang
pemikiran Theodor Noldeke dalam studi al Qur’an.
B. PEMBAHASAN
1.
Biografi Theodor Noldeke
Theodore Noldeke adalah seorang tokoh orientalis Jerman yang
mempunyai reputasi besar dalam studi al Qur’an. Ia lahir pada tanggal 2 Maret
1837 di kota Hamburg, Jerman. Pendidikan tingginya ia
tempuh di Universitas Gottingen dengan bekal penguasaan bahasa Latin dan Bahasa
Semit. Ia belajar bahasa Semit kepada salah seorang sahabat ayahnya yang
bernama H. Ewald dengan materi bahasa Arab, Persia beserta sastranya.
Studinya terhadap bahasa-bahasa semit ia lanjutkan dengan
mempelajari bahasa Suryani kepada H. Ewald, dan bahasa Arami, yang ia gunakan
dalam mengkaji kitab-kitab suci, kepada Bartheau. Kemudian ia juga mempelajari
bahasa Sansekerta kepada Benfay dan ia teruskan saat menjadi Profesor di
Universitas Kiel pada tahun 1864-1872.[1]
Prestasi akademik pertamanya ia dapatkan sewaktu meraih sarjana
tingkat pertamanya dengan skripsinya yang ia beri judul “Tarikh al Qur’an”. Dan dengan karyanya ini dia mendapatkan
penghargaan atas studi Qur’an dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1858 dari
otoritas akademik Prancis dan memberikannya hadiah sebesar 1.333 Franc Prancis
atas keberhasilannya dalam penelitian sejarah al Qur’an. Dua tahun setelah itu,
tahun 1860, Noldeke dengan dibantu oleh muridnya Schwally, menerbitkan
karangannya yang ditulis dalam bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman, dengan
beberapa tambahan yang sangat luas, yang diberi judul “Geschichte des Qorans”.[2]
Ia mempunyai motivasi tinggi terhadap studi al Qur’an. Hal ini
terbukti dengan ia mengikuti perlombaan dalam penelitian mengenai
sejarah al Qur’an. Ia berangkat dalam penelitiannya dengan asumsi bahwa al
Qur’an bukanlah kitab suci yang orisinal bagi agama Islam. Al Qur’an hanyalah
sebuah kitab hasil penduplikatan Muhammad dari kitab-kitab terdahulu dan
menuduh Muhammad hanyalah seorang impostor dan bukan seorang nabi, seperti yang
selama ini diyakini umat muslim.[3]
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa motivasi yang digunakan
Noldeke dalam penelitiaanya adalah dengan menggunakan pendekatan kritik, dengan
maksud ingin menyatakan bahwa semua kitab suci yang ada adalah palsu, sedangkan
yang benar adalah kitab suci agamanya sendiri yaitu Bible. Hal ini tidak
mengherankan karena semua kalangan orientalis mengkaji Islam dengan dasar
kebencian dan dendam, sehingga itu yang menjadi landasan berfikir mereka dalam
melakukan serangan terhadap benteng keyakinan umat Islam yang disponsori oleh
Gereja dan Universitas Barat.[4]
2.
Pemikirannya tentang al Qur’an
Al Qur’an merupakan kitab suci agama Islam yang merupakan dasar
teologis dan hukum dalam Islam. Bagi umat muslim, al Qur’an diyakini
orisinalitasnya yang merupakan wahyu dari Allah SWT. Maka dari itu al Qur’an
juga diyakini tidak mengandung keraguan (S. Al Baqarah: 2) dan keasliannya
terjamin hingga hari akhir. Al Qur’an juga menjadi pemersatu umat Islam, meski
mempunyai berbagai macam madzhab dan aliran, umat Islam hanya meyakini satu al
Qur’an.
Theodor Noldeke, ingin membuktikan bahwa apa yang diyakini umat
Islam selama ini adalah salah. Ia meyakini bahwa al Qur’an tidak orisinal.
Muhammad bukanlah seorang yang ummi,
melainkan ia sangat akrab dengan seni menulis yang saat itu dianggap sebagai
derajat orang yang berilmu,[5]
maka dari itu, Muhammad mampu untuk menduplikasi agama-agama terdahulu. Ia
menyatakan bahwa ajaran yang ia bawa bukanlah merupakan produk dirinya sendiri,
melainkan adalah produk yang ia ambil dari Kristen dan Yahudi. “It would be superfluous to explain here that
not only most of the histories of the prophets in the Koran but also many of
the dogmas and laws are of Jewish origin. In comparison, the influence of the
Gospels on the Koran is much slighter”.[6]
Ia berasumsi bahwa pada saat masa kenabian Muhammad, kaum Yahudi
sudah banyak yang tinggal di jazirah Arab, khususnya di Yatsrib (Madinah).
Mereka mempunyai hubungan baik dengan Makkah dan sering mengunjunginya, dan
bahkan dalam teologi Kristen pun banyak sekali disusupi ajaran-ajaran dari
Yahudi.[7]
Maka menurutnya, tidak mustahil kalau dalam Islam pun banyak sekali ajaran yang
mengadopsi dari Yahudi.
Dengan ini Noldeke menyimpulkan bahwa Islam
benar-benar merupakan agama yang mengikuti jejak ajaran Kristen. Dan siapa yang tidak percaya dengan agama ini disebut dengan Shabiin yang
merupakan persamaan dengan sekte-sekte yang ada pada Kristen. Inilah yang
menyebabkan penerimaan dan penyambutan Raja Abysania ketika umat Islam hijrah
ke sana.
Noldeke menyatakan
bahwa pada masa pra-Islam, para misionaris dari Kristen dan Yahudi salalu
membawa kitab-kitab suci mereka dan menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah di
mana mereka menjalankan misinya. Termasuk ke dalam bahasa Arab. Para rabi dan
pendeta Kristen dan Yahudi yang menerjemahkan ke dalam bahasa Arab.[8]
Dan
pada waktu itu seni menulis sudah menjadi hal yang umum dilakukan masyarakat
Arab dalam mencatat hal-hal yang penting bagi mereka, seperti perjanjian dan
lainnya. Muhammad pun mempelajari ajaran Yahudi dan Kristen dari pendeta atau
rabi-rabi Yahudi yang sudah menerjemahkan ajaran mereka dalam bahasa Arab,
karena menurut Noldeke, Muhammad tidak menguasai bahasa selain Arab. Ini yang
menjadi masalah Muhammad dalam memahami kitab-kitab lainnya ke dalam al Qur’an.
Misalnya pada kalimat “لايمسه
إلا المطهرون”, menurut Noldeke,
Muhammad salah dalam menuliskan kalimat tersebut. Padahal kalimat yang asli
tidak seperti yang dimaksud dalam kalimat ini, dan ini bukan berarti bahwa al
Qur’an terlarang bagi orang selain Islam untuk menggunakannya.[9]
Noldeke menyimpulkan, bahwa
dalam penulisan al Qur’an, Muhammad memiliki landasan dalam mengimpor dari
kitab Yahudi dan Kristen, pertama, ia
tidak secara literal dalam melihat kitab-kitab tersebut, tapi ia menuliskannya
menjadi al Qur’an menurut pemahamannya yang terbatas kemudian mengarangnya, kedua, ia tidak mempunyai kepentingan
untuk membawa ideology apapun ke dalam al Qur’an karena ia bermaksud untuk menciptakan
ideologinya sendiri. Contoh yang lain adalah dengan adanya ka’bah dan seruan untuk hajji. Di mengatakan bahwa di dalamnya
terdapat unsur-unsur kepercayaan pagan yang merupakan kepercayaan bangsa Arab
ketika itu yang mempunyai sumber orisinal dari Ibrahim. Muhammad mengadopsi
ini, namum merubahnya secara total dan menyesuaikannya dengan cerita-cerita
Yahudi sebanyak yang ia ingat.[10]
Dalam bukunya yang lain, yaitu yang tercantum dalam Encyclopedia Britannica (1891), Noldeke
dengan lantang menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam al
Qur’an ini disebabkan karena kebodohan Muhammad mengenai sejarah awal dan
pemahamannya tentang agama Yahudi. Dalam buku tersebut Noldeke mengatakan:
“(bahkan) orang Yahudi paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut
Hamam (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam
saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al Masih...(dan) dalam
kebodohannya tentang sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri
Mesir-di mana hujan hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah
kelihatan dan tidak pernah hilang karena hujan, dan bukan karena kebanjiran
yang disebabkan oleh sungai Nil”.[11]
Mengenai ke-rasulan Nabi Muhammad, ia menyatakan bahwa, pernyataan
Muhammad adalah utusan Tuhan dan apa yang darinya adalah dari Tuhan, itu
hanyalah berupa sebuah ide untuk menarik simpati masyarakat arab ketika itu,
karena kalau tidak, ia akan ditolak oleh masyarakat, karena menurutnya, ide
tentang pembaharuan adalah sangat diperlukan untuk legitimasi akan sebuah
kenabian, karena kalau tidak, maka ia akan ditolak dan tidak akan ada yang
mempercayainya.[12]
Lanjutnya, ia menyatakan bahwa dalam sejarah, Muhammad adalah seorang yang
berpengarai halus, jarang tampil di muka publik, maka bagamana mungkin seorang
yang seperti itu mampu untuk bertahan dalam menghadapi cacian dan tantangan
dari musuh-musuhnya.[13]
Maka dari itu hal ini meragukan.
Berhubungan dengan ini, pada kenyataannya, menurut Noldeke,
Muhammad meyakini bahwa apa yang berasal dari instingnya adalah berasal dari
sumber wahyu. Hal ini sama dengan apa yang terjadi pada nabi-nabi Israel yang
mengatakan bahwa mereka juga mendapatkan wahyu dari Yahweh. Lanjutnya, Muhammad
hanya mengikuti naluri naifnya dalam mengajak manusia kepada kebaikan dan
meninggalkan keburukan, akan tetapi ia tidak mengetahui hakikat kebaikan dan
keburukan, maka dalam ajarannya ia menyampaikan bahwa semua yang tidak sesuai
dengan apa yang darinya akan disebut tercela.[14]
Inilah yang Noldeke sebut dengan tipe anugerah kerasulan Muhammad.
pemikiran yang disampaikan Noldeke ini sebenarnya hanyalah sebuah
pengembangan dari pemikir sebelumnya yaitu Abraham Geiger, yang mengatakan
bahwa al Qur’an terpengaruh oleh agama Yahudi, pada hal, pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, yang kedua, peraturan-peraturan hukum dan
moral, dan ketiga,tentang pandangan
terhadap kehidupan.[15]
Dari pemaparan diatas, bisa disimpulkan bahwa Noldeke mengukur
orisinalitas al Qur’an dengan Bible. Dalam penelitiannya, Noldeke menggunakan
pendekatan filologi, kemudian pendekatan kritik Historis dan pendekatan
ontologi.
3.
Kritik
Seperti yang kita lihat dalam pemaparan mengenai tuduhan Theodor
Noldeke terhadapa al Qur’an dan Kenabian Muhammad SAW, kita mendapatkan
berbagai macam fitnah yang seakan mengada-ada. Perlu ditekankan di sini bahwa,
dalam argumentasinya, Noldeke terlihat mengukur segala sesuatunya dengan ukuran
Bible dan teologi Kristen Yahudi[16].
Hal ini terlihat dalam tuduhan umumnya bahwa al Qur’an merupakan produk
duplikasi Taurat dan Injil.
Permasalah pertama yaitu, bahwa dalam al Qur’an terdapat banyak
ajaran yaang juga terdapat dalam teologi Kristen dan yahudi, masalah ini
didaapati dalam kalimat "لاإله إلا الله". Dalam Islam, kalimat ini merupakan dasar ajaran tauhid yang tidak
bisa ditawar dan hukumnya adalah mutlak untuk diyakini. Kalimat ini dalam
teologi Kristen Yahudi, sering ditujukan pada pernyataan dalam Samuel 32/22 dan
Mazmur Daud 18/32. Lalu tuduhannya adalah Muhammad mengambilnya dan
menjadikannya bagian khusus dalam Islam.[17]
Dalam kedua kitab tersebut tertulis perkataan : "لأن من إله غير إلهنا. ومن هو صخرة غير إلهنا", bila diperhatikan, kata “Ilaahuna” menunjukkan arti kekhususan yang diakui oleh dalam
teologi Yahudi. Akan tetapi dalam sejarahnya, dikatakan bahwa orang-orang Yahudi selalu
menolaknya. Selain itu, orang-orang Yahudi setelah Musa a.s tidak pernah
mengakui Tauhid sebagai pokok dalam agama mereka dan kemudian menjadikan berhala
sebagai sesembahan mereka menggantikan tauhid. Dengan ini berarti klaim atau
tuduhan yang diberikan Noldeke tidak benar, karena dalam teologi Yahudi yang
sampai pada masa nabi Muhammad tidak mengakui adanya tauhid, padahal tauhid
sendiri menjadi pokok ajaran Islam.[18]
Tuduhan yang kedua adalah tentang nabi
Muhammad yang sebenarnya tidak umi
(tidak bisa membaca dan menulis). Noldeke menyatakan dalam tuduhannya bahwa
pada masa itu seni menulis sudah menjadi hal yang banyak di masyarakat Arab.
Mereka menggunakannya dalam menuliskan hal-hal yang penting dalam sosial
mereka. Perlu diketahui, bahwa nabi Muhammad belum mendapatkan wahyu kecuali
saat umurnya mencapai 40 tahun. Dan selama itu beliau tinggal di Makkah, yang
saat itu merupakan sebuah desa terpencil, dan penduduknya sebagian besar buta
huruf, dan sangat jarang sekali ada yang membaca sebuah buku atau menulis
tulisan.[19]
Sedangkan kemampuan menulis hanya terdapat pada beberapa pembesar dan penguasa
Makkah waktu itu.[20]
Kemudian fakta lainnya adalah, bahwa dakwah Islam mempunyai tujuan untuk
merubah system masyarakat dalam hal kaitannya dengan aqidah, pemikiran, dan
kemasyarakatan. Maka dari itu yang menjadi musuh dakwah Muhammad adalah mereka
yang termasuk para pembesar dan penguasa, sedangkan pengikutnya adalah para
masyarakat biasa. Maka, jika Muhammad bisa membaca dan menulis, pastilah para
pengikutnya adalah para pembesar-pembesar tersebut, karena Muhammad dianggap
sebagai orang yang sederajat dengan mereka. Dengan fakta ini, bisa dikatakan
pula, apabila al Qur’an merupakan karangan Muhammad, maka akan banyak sekali
muncul kitab-kitab semisal pada masa itu, karena asumsinya bahwa al Qur’an
merupakan buatan manusia yang sama dengan yang lain, dan pada waktu itu sya’ir
menjadi tren yang digemari banyak kalangan.
Selanjutnya, penyataan bahwa adanya
aktivitas penerjemahan kitab-kitab suci terdahulu tidak ada faktanya dalam
sejarah. Belum ada penerjemahan buku apapun pada masa nabi, dengan bukti bahwa
masyarakat makkah ketika itu belum banyak yang mampu dalam membaca dan menulis,
seperti yang telah disampaikan pada paragraph di atas. Kemudian dalam al Qur’an
pun disebutkan bahwa nabi Muhammad belum sama sekali membaca buku apapun, juga karena ketidak mampuannya dalam membaca.[21]
Dan dalam sejarahnya, penerjemahan kitab di jazirah Arab baru muncul pada masa
al Ma’muun, yaitu setelah dua abad setelah zaman Rasulullah.
Kemudian tentang haji, Noldeke salah dalam
memahami ibadah haji dengan mengindetikkan pada kepercayaan pagan dengan
mengatakan bahwa dalam haji ada unsur penyembahan berhala. Ia tidak memahami
bahwa haji merupakan salah satu dari rukun Islam, dan hukumnya adalah fardu ‘ain, yaitu suatu kewajiban yang
diperuntukkan bagi yang mampu. Bagaimana mungkin bila diartikan sebagai sebuah
wujud penyembahan berhala seperti yang dituduhkan Noldeke mengandung hukum yang
tidak mengikat setiap pengikutnya. Kemudian, esensi dalam haji ada 2 hal.
Pertama adalah bahwa Allah akan mengampuni dosa bagi yang menjalankannya, tapi
bukan berarti bagi yang tidak mampu menjalankannya tidak
diampuni dosanya. Yang kedua, bahwa ibadah haji adalah moment di mana semua
umat muslim berkumpul di satu tempat di bawah paying persaudaraan[22].
Jadi bukan ritual penyembahan ka’bah seperti yang dituduhkan Noldeke.
Noldeke dalam tuduhannya bahwa pernyataan
Muhammad sebagi utusan Tuhan dan siapa yang tidak mempercayainya akan masuk
neraka, mempunya maksud bahwa itu hanyalah ide Muhammad dengan menyatakan bahwa
ia adalah nabi paling utama dibanding nabi yang lain. Perlu diingat bahwa dalam
Islam tidak ada ajaran yang menyatakan untuk mengutamakan satu nabi atas nabi yang lain.
Setiap nabi dan rasul dari Adam a.s hingga nabi Muhammad SAW mempunyai misi
yang sama, yaitu tauhid kepada Allah SWT. Adapun mu’jizat yang terdapat pada
setiap nabi merupakan dalil atau bukti untuk menjadi hujjah bagi setiap orang yang menentang risalah nabi tersebut,
karena merka tidak akan beriman sebelum melihat mu’jizat dari nabi pada setiap
kaum.
Adapun ayat yang terdapat pernyataan: [23]"قل إني أمرت أن أكون من أسلم", ini mempunyai tiga kandungan makna. Yang pertama, adalah orang yang pertama kali
berserah diri kepad Allah SWT. Yang kedua, orang yang pertama
kali ikhlas beribadah kepad Allah SWT. Dan yang ketiga, orang yang pertama kali memeluk Islam pada umat tersebut.
Hal ini wajar terjadi, sebagai orang yang menyeru kepada Islam, nabi Muhammad
pastilah menjadi orang yang pertama kali dalam memeluk Islam dan berserah diri
kepada Allah sementara kaumnya masih tunduk dalam peribadatan kepada berhala.[24]
Akan tetapi sangat jauh sekali bila diartikan sebagai sebuah bentuk ungkapan
dalam pernyataan akan keutamaan seseorang atas seseorang apalagi pernyataan
tersebut ditujukan pada para nabi-nabi dan rasul, karena pada surat al A’raf
juga terdapat ungkapan yang sama yang disampaikan nabi Musa a.s. dan yang
mempunyai hak dalam menentukan siapa yang paling utama diantara manusia adalah
Allah SWT.
Kemudian pendapat Noldoke yang menyatakan
bahwa Muhammad salah dalam Hamam adalah menteri Fir’aun tidaklah benar.
Disamping itu, Noldoke juga tidak mampu dalam membuktikan jika Hamam memang
bukan menteri Fir’aun. Begitu juga kesalahan Noldeke ketika menuduh al Qur’an salah dalam menyatakan Mirian (Maryam) adalah saudara Musa.
Al Qur’an merujuk Maryam (Ibunya Nabi Isa a.s) sebagai saudara Harun (ukhti Harun).[25]
Perjanjian Baru menyebutkan bahwa Elisabeth adalah keluarga Maria (Maryam).
Elisabeth adalah “saudara Harun”. Jadi Maryam atau Elisabeth adalah “saudara
perempuan Harun” atau anak perempuan Imran (ayah Harun).[26]
Selanjutnya, perihal keadaan geografis
tanah Mesir yang subur, Noldeke tidak mampu untuk memberikan bukti bahwasanya
pada masa Nabi Yusuf a.s hujan tidak pernah turun. Padahal dengan adanya bukti
melimpahnya sungai Nil, bisa dipastikan bahwa hujanlah yang membuat air sungai
Nil melimpah.[27] Bukti-bukti
ini yang tidak pernah diungkap oleh Noldeke.
4. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan
secara umum bahwa Noldeke memberikan hujatan dan tuduhan terhadap al Qur’an dan
Nabi Muhammad tidak disertai dengan bukti-bukti sejarah yang kongkrit.
Kemampuannya dalam berbahasa Semit tidak disertai dengan pendalaman mengenai sejarah Arab. Hal ini terbukti dengan kesalahan argumennya
mengenai penerjemahan kitab-kitab Yahudi Kristen ke dalam bahasa Arab, kemudian
bukti bahwa bangsa Arab khususnya Makkah semuanya mampu dalam menulis dan
membaca, maka karena itu Nabi Muhammad pun bisa membaca dan menulis sehingga
dituduh bahwa Nabi Muhammad mengarang al Qur’an.
Pendekatannya yang menggunakan pendekatan
Kritik Historis menjadikannya mengeneralisir kebenaran informasi yang ia dapat.
Yaitu kebenaran yang mencakup antara sejarah dan legenda, antara fakta dan
fiksi, dan antara realita dan mitos.[28]
Apalagi penelitiannya yang didasarkan pada Bible membuatnya tidak objektif
dalam memaparkan bukti dan pernyataan, karena semuanya harus disesuaikan dengan
Bible.
C. PENUTUP
Akhirnya ini yang bisa disampaikan penulis
mengenai pemikiran Theodore Noldeke tentang al Qur’an. Tentunya terdapat banyak
kekurangan dalam penulisannya. Namun penulis berharap akan ada karya tulis ilmiah
lain yang menyempurnakan penulisan ini. Wallahu
a’lam bis shawaab
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Tejemah
Armas, Adnin, Metodologi
Bible dalam Studi Al Qur’an Studi Kritis, Jakarta, Gema Insani Press, 2005
Azami, M.M, The History of
The Qur’anic Text, (Jakarta: GIP, 2005). Terj. Sohirirn Solihin, dkk.
Hidayat, Hayat dan Mohammad Hidayat, Sejarah al Qur’an dalam pandangan Theodor Noldeke, Kajian
Orientalis Terhadap al Qur’an dan Hadits, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,2012
Jurnal Studi Qur’an vol 1 No 2, (Tanggerang: Pusat Studi Qur’an, 2006)
Ernst, Carl
W., How to Read
the Qur'an: A New Guide, with Select Translations. (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2011).
Theodore Noldeke, The History of Qur’an,
ed: Wolfgang H. Behn, (Leiden-Boston, Brill, 2013)
S. Parvez Manzoor, Jurnal
Studi Qur’an vol 1 No 2, Method Vis A Vis Truth, Orientalisme dalam Studi
Al Qur’an, Tanggerang: Pusat Studi Qur’an 2006.
M.M. Azami, The History of
The Qur’anic Text, (Jakarta: GIP, 2005)
Muhammad Faruq an Nabhani, al
Madkhol ila ‘Ulumi al Qur’an, (Halb, Dar ‘Alim al Qur’an, 1426/2005).
Abdul Qodir Muhammad Manshur, Mausu’atu ‘Ulumi al Qur’an, (Halb: Dar
al Qolam al ‘Aroby, 1422/2002).
الزاوي، أحمد عمران ،
جولة في كتاب نولدكه تاريخ القرأن بعض المستشرقين حينما يكتبون عن الغرب والإسلام
يكتبون بالمطارق، بالأقلام، دمشق، مكتبة دار طلاس، 2008
[1] Carl W. Ernst, How to Read the Qur'an: A New
Guide, with Select Translations. (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 2011), p. 43
[2] Hayat Hidayat
dan Mohammad Hidayat, Sejarah al Qur’an
dalam pandangan Theodor Noldeke, Kajian Orientalis Terhadap al Qur’an dan
Hadits, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,2012, hal 41.
[3] Theodore Noldeke, The History of
Qur’an, ed: Wolfgang H. Behn, (Leiden-Boston, Brill, 2013), p. 3
[4] S. Parvez
Manzoor, Jurnal Studi Qur’an vol 1 No 2
2006, Method Vis A Vis Truth, Orientalisme dalam Studi Al Qur’an, Pusat
Studi Qur’an, Tanggerang, hal 45.
[5] Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al Qur’an Studi
Kritis, Jakarta, Gema Insani Press, 2005, hal 134.
[11] M.M. Azami, The History of The Qur’anic Text,
(Jakarta: GIP, 2005) hal. 341. Terj. Sohirirn Solihin, dkk.
[15] Hayat Hidayat
dan Mohammad Hidayat, Sejarah al Qur’an
dalam pandangan Theodor Noldeke, Kajian Orientalis Terhadap al Qur’an dan
Hadits, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,2012, hal 41.
[17]
الدكتور أحمد عمران الزاوي، جولة في كتاب
نولدكه تاريخ القرأن بعض المستشرقين حينما يكتبون عن الغرب والإسلام يكتبون
بالمطارق، بالأقلام، دمشق، مكتبة دار طلاس، 2008، ص. 49
[19] Muhammad
Faruq an Nabhani, al Madkhol ila ‘Ulumi
al Qur’an, (Halb, Dar ‘Alim al Qur’an, 1426/2005), cetakan pertama, p. 42
[20] Abdul Qodir Muhammad Manshur, Mausu’atu
‘Ulumi al Qur’an, (Halb, Dar al Qolam al ‘Aroby, 1422/2002), cetakan
pertama, p. 77
[28] Hayat Hidayat
dan Mohammad Hidayat, Sejarah al Qur’an
dalam pandangan Theodor Noldeke, Kajian Orientalis Terhadap al Qur’an dan
Hadits, hal 43.
apa nama jurnal ini?
BalasHapus