Mengusap muka setelah sholat |
Dalam hal ini ada dua hadits yang sering dijadikan landasan oleh
mereka yang mengusap mukanya setelah shalat.
Hadits pertama. Hadits dari Anas bin Malik:
أَخْبَرَنَا سَلْمُ بْنُ مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ
عَنْبَسَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ الْحَوْضِيُّ، حَدَّثَنَا سَلَّامٌ الْمَدَائِنِيُّ،
عَنْ زَيْدٍ الْعَمِّيِّ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ،
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا قَضَى صَلَاتَهُ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى، ثُمَّ قَالَ: «أَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي
الْهَمَّ وَالْحَزَنَ»
“Adalah
Rasulullah SAW. jika
telah selesai shalat, maka Beliau mengusap
wajahnya dengan tangan kanannya, kemudian berkata: “Aku bersaksi tiada Ilah
kecuali Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah
dariku kegelisahan dan kesedihan.”[1]
Berikut ini adalah
paparan pendapat para ulama mengenai hadits di atas
sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab mereka.
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata dalam Fath al-Bari:
وله طرق عن أنس ،كلها واهية
.
Dikatakan juga
dalam kitab yang sama bahwa alasan mereka tidak mengusap wajah karena hal itu dimakruhkan sebagaimana
makruhmya mengelap bekas air wudu’ setelah
berwudu’ dan menggosok gigi untuk
menghilangkan bau mulut saat berpuasa.[3]
Dalam kitab Syaikh Nashiruddin Al-Albani dikatakan, cacatnya
hadits ini lantaran dua perawi hadits tersebut yaitu Salam Al-Madaini dan Zaid
Al-‘Ami. Salam Al-Madaini adalah orang yang dituduh sebagai pendusta, sedangkan Zaid Al-‘Ami adalah perawi dhaif.
Oleh karena itu, Albani mengatakan, sanad hadits ini palsu. Hanya saja, hadits
ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya yang juga dhaif. Namun secara global, hadits ini dhaif
jiddan.[4]
Sementara, Imam Al-Haitsami mengutip dari perkataan Al-Bazzar, bahwa Salam Al-Madaini
adalah orang yang layyinul hadits (haditsnya lemah)[5] dan kitab yang sama Al-Haitsami juga
menyatakan bahwa Zaid Al-‘Ami adalah dhaif (lemah).[6] Imam
Al Baihaqi juga menyatakan bahwa Zaid Al-‘Ami adalah dhaif.[7]
begitu pula komentar Imam Al-‘Iraqi menyatakan hal serupa.[8]
Al-‘Allamah
Al-Sakhawi mengatakan, lebih dari satu orang yang menilai bahwa Zaid Al-‘Ami
adalah tsiqah (bisa dipercaya), namun Jumhur (mayoritas) Ulama’ menilainya
dhaif.[9]
Sedangkan Imam Al-Nasa’i mengatakan Zaid Al-‘Ami sebagai laisa
bi al-qawwi (bukan orang kuat hafalannya).[10]
begitu pula kata Imam Abu Zur’ah dalam kitab Al-Jarh wat Ta’dil menyatakan hal yang serupa.[11]
Namun hanya Imam Ahmad yang menilai Zaid
Al-‘Ami sebagai orang yang tsiqah.[12] Dalam
kitab lain Imam Ahmad menyatakannya: Orang yang shalih
(baik).[13]
Hadits kedua. Dari Anas bin Malik ra.:
ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَمَّادٍ الطِّهْرَانِيُّ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ يَزِيدَ
الْجَصَّاصُ، ثنا دَاوُدُ بْنُ الْمُحَبَّرِ، ثنا الْعَبَّاسُ بْنُ رَزِينٍ
مُصْطَفَى السُّلَمِيُّ، عَنْ جُلَاسِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ،
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا قَضَى صَلَاتَهُ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى، ثُمَّ
أَمَرَّهَا عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى يَأْتِيَ بِهَا عَلَى لِحْيَتِهِ وَيَقُولُ:
«بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْغَمَّ وَالْحَزَنَ
وَالْهَمَّ، اللَّهُمَّ بِحَمْدِكَ انْصَرَفْتُ وَبِذَنْبِي اعْتَرَفْتُ، أَعُوذُ
بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اقْتَرَفْتُ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ بَلَاءِ الدُّنْيَا
وَمِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ»
“Adalah
Rasulullah Shallalllahu ‘Alaihi wa Sallam jika telah selesai shalatnya, beliau
mengusap dahinya dengan tangan kanan, kemudian ilanjutkan ke wajah sampai
jenggotnya. Lalu bersabda: “Dengan nama Allah yang Tidak ada Ilah selain Dia,
yang Maha Mengetahui yang Ghaib dan Yang Tampak, Maha Pengasih dan Penyayang.
Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan, kesedihan, dan keresahan. Ya Allah
dengan memujiMu aku beranjak dan dengan dosaku aku mengakuinya. Aku berlindung
kepadaMu dari keburukan yang telah aku akui, dan aku berlidung kepadaMu dari
beratnya cobaan kehidupan dunia dan siksaan akhirat.”[14]
Menurut Imam
Al-Bukhari hadits tersebut dhaif (lemah) karena di dalam sanadnya
terdapat Daud Al-Mihbar
pengarang kitab Al-‘Aql. Ia juga berkata: munkarul hadits. Sedangkan Imam Ahmad
mengatakan: Dia tidak diketahui apa itu hadits.[15]
Ali Maldini mengatakan bahwa Daud al-Mihbah ini haditsnya telah hilang. Abu Zur’ah dan
lainnya mengatakan: dhaif (lemah). Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya
ditinggalkan). Abu Hatim mengatakan: haditsnya hilang dan tidak bisa dipercaya.
Ad Daruquthni mengatakan bahwa Daud Al Mihbar dalam kitab Al ‘Aql telah memalsukan
riwayat Maisarah bin Abdi Rabbih, lalu dia mencuri sanadnya dari Maisarah, dan
membuat susunan sanad bukan dengan sanadnya Maisarah. Dia juga pernah mencuri
sanad dari Abdul Aziz bin Abi Raja’, dan Sulaiman bin ‘Isa Al Sajazi.[17] Abu
Hatim juga mengatakan: munkarul hadits.[18]
Bahkan, Syaikh Al Albani dengan tegas mengatakan sanad hadits
ini adalah maudhu’ (palsu) lantaran perilaku Daud yang suka memalsukan sanad
ini. Beliau mengatakan Daud adalah
orang yang dituduh sebagai pendusta. Sedangkan untuk Al Abbas bin Razin As
Sulami, Syaikh Al Albani mengatakan: “aku tidak mengenalnya.”[19]
Walaupun
hadits-hadits ini sangat lemah dan tidak boleh dijadikan dalil, namun telah
terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang mengusap wajah jika sekadar untuk
membersihkan bekas-bekas sujud, seperti pasir, debu, tanah, dan lainnya. Di
antara mereka ada yang membolehkan, ada juga yang memakruhkan.
Al-Hafizh
Al-Imam Ibnu Rajab ra. mengatakan:
فأما مسح الوجه من أثر السجود بعد الصلاة ، فمفهوم ما روي عن ابن مسعودٍ
وابن عباسٍ يدل على أنه غير مكروهٍ.
وروى الميموني ، عن أحمد ، أنه كان اذا فرغ من صلاته مسح جبينه .
“Adapun
mengusap wajah dari bekas sujud setelah shalat selesai, maka bisa difahami dari
apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa
hal itu tidak makruh. Al-Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia
mengusap dahinya jika selesai shalat.”[20]
Sebagian ulama lain memakruhkannya, bahkan mengusap wajah
merupakan penyebab hilangnya doa pengampunan yang dipanjatkan malaikat untuk
manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab berikut:
وكرهه طائفة ، لما فيه من إزالة أثر العبادة ، كما كرهوا التنشيف من
الوضوء والسواك للصائم .
وقال عبيد بن عميرٍ : لا تزال الملائكة تصلي على إلانسان ما دام أثر
السجود في وجهه
.
خَّرجه البيهقي بإسنادٍ صحيحٍ
.
وحكى القاضي أبو يعلي روايةً عن أحمد ، أنه كان في وجهه شيء من أثر السجود
فمسحه رجل ، فغضب ، وقال : قطعت استغفار الملائكة عني . وذكر إسنادها عنه ، وفيه
رجل غير مسمىً
.
وبوب النسائي ((باب : ترك مسح الجبهة بعد التسليم )) ، ثم خرج حديث أبي
سعيد الخدري الذي خَّرجه البخاري هاهنا ، وفي آخره : قال ابو سعيدٍ : مطرنا ليلة
أحدى وعشرين ، فوكف المسجد في مصلى النبي – صلى الله عليه وسلم – ، فنظرت إليه وقد انصرف من صلاة الصبح ، ووجهه مبتل طيناً وماءً .
“Sekelompok ulama memakruhkannya, dengan alasan hal itu
merupakan penghilangan bekas-bekas ibadah shalat, sebagaimana mereka memakruhkan mengelap air wudhu (dibadan)
dan bersiwak bagi yang berpuasa. Berkata ‘Ubaid bin ‘Amir: “Malaikat senantiasa
bershalawat atas manusia selama bekas sujudnya masih ada di wajahnya.”[21]
“Al Qadhi
Abu Ya’la menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa ada bekas sujud di
wajahnya lalu ada seorang
laki-laki yang mengusapnya, maka beliau pun marah, dan berkata: “Kau telah
memutuskan istighfar-nya malaikat dariku.” Abu Ya’la menyebutkan sanadnya
darinya, dan didalamnya terdapat seseorang yang tanpa nama.”[22]
“Imam An
Nasa’i membuat bab: Meninggalkan Mengusap Wajah Setelah Salam. Beliau
mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Said Al Khudri, yang telah dikeluarkan pula
oleh Imam Bukhari di sini, di bagian akhirnya berbunyi: Berkata Abu Said: “Kami
kehujanan pada malam ke 21 (bulan Ramadhan), lalu air di masjid mengalir ke
tempat shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kami memandang
kepadanya, beliau telah selesai dari shalat subuh, dan wajahnya terlihat sisa
tanah dan air.”[23]
Kesimpulan
Dari pemaparan dan
penjelasan para ulama di atas maka kita dapat simpulkan bahwa hadits tentang
mengusap muka setelah shalat adalah dhaif (lemah) menurut jumhur ulama,
sehingga langkah yang diambil oleh seorang muslim untuk menghindarkan diri dari
hal-hal yang belum jelas perintahnya dari Rasulullah adalah meninggalkan
perbuatan tersebut yaitu mengusap muka setelah shalat. Adapun khilaf
(perbedaan) yang terjadi adalah khilaf pada sebagian kecil saja, sehingga hal
itu tidak bisa dijadikan pegangan dan
acuan yang kemudian mengalahkan pendapat yang lebih banyak (jumhur ulama).
DAFTAR PUSTAKA
Sunni, Ibnu, ‘Amalul
Yaum wal lailah li Ibni Sunni, (Maktabah Syamilah)
Al-Hambali, Ibnu Rajab, Fath al-Bari, (Maktabah Syamilah)
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Silsilah Ad
Dhaifah wal Maudhu’ah, (Maktabah Syamilah)
Al-Haitsami, Imam, Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawa’id, (Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Al-Turkumani, Ibnu, Al-Jauhar al-Naqii, (Maktabah Syamilah)
Al-Iraqi, Takhrij Ahādits Ihyā ‘Ulum al-Din, (Maktabah Syamilah)
Al-Sakhawi, Al-Maqāshid Al-Hasanah, (Maktabah Syamilah)
Al-Zaila’i, Al-Hafizh, Nashbur Rayyah, (Maktabah Syamilah)
Al-Nuri, Abu al-Fadhl Al-Sayyid Al-Ma’athi, Al Musnad Al Jami’,
(Maktabah Syamilah)
Al-Razi, Abdurrahman
bin Abi Hatim, Al-Jarh wat
Ta’dil, (Maktabah Syamilah),
Al-Mubarrad, Ibnu, Bahr
al-Dam, (Maktabah Syamilah)
Nu’aim, Abu, Tārikh
Ashbahān, (Maktbah Syamilah)
Al-Bukhari, Imam, Al-Tārikh Al Kabir, (Maktabah Syamilah)
Al-Bukhari, Imam, Al-Dhu’afa Al-Shaghir, (Maktabah Syamilah)
Al-‘Uqaili, al-Dhu’afa li al-Uqaili,
(Maktabah Syamilah)
Al-Zarkili, Khairuddin, Al-A’lam li
al-Zarkili, (Maktabah Syamilah)
Al-Dzahabi, Mizan Al-I’tidal, (Maktabah Syamilah)
Hatim, Abdurrahman bin
Abi, Al-Jarh wa al-Ta’dil, (Maktabah Syamilah)
Al-Hambali, Ibnu Rajab, Fathul Bari,
(Maktabah
Syamilah)
[1] HR. Ibnu Sunni, no. 112, ‘Amalul Yaum wal lailah li Ibni Sunni, Bab. Mā Yaqulu fi Duburi Shalāt (Maktabah Syamilah), Jilid. 1, hal. 101
[2] Imam
Ibnu Rajab Al-Hambali, Fath al-Bari, Bab. Man
Lam Yamsah Jabhatahu wa Anfahu Hatta Shalla, (Maktabah Syamilah), Jilid. I,
hal. 360.
[4]
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, No. 1058, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhu’ah, (Maktabah Syamilah), Jilid. 3, hal. 171
[5] Imam
Al-Haitsami, No. 16972, Majma’
al-Zawaid wa Manba’ al-Fawa’id, (Darul
Kutub Al ‘Ilmiyah), Jilid.10, hal. 110.
[10] Al-Hafizh Al-Zaila’i, Nashbur Rayyah, (Maktabah
Syamilah), Jilid. 7, hal. 185. Lihat juga: Abu al-Fadhl Al-Sayyid Al-Ma’athi
Al-Nuri, Al Musnad Al Jami’, (Maktabah Syamilah), Jilid. 14, hal. 132
[15] Imam Al Bukhari, No. 837, Al-Tārikh
Al Kabir, (Maktabah
Syamilah), Jilid. 3, hal. 244. Lihat juga kitab Imam Bukhari lainnya, No. 110 Al-Dhu’afa
Al-Shaghir, (Maktabah Syamilah),
Jilid. 1, hal. 42. Lihat juga Al-‘Uqaili, No. 458, al-Dhu’afa li al-Uqaili, Jilid.
2, hal. 35.
[18] Abdurrahman
bin Abi Hatim, No. 1931, Al-Jarh wa al-Ta’dil, (Maktabah Syamilah), Jilid. 3, hal. 424
[22] Ibid.
[23] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar