|
Suasana Pantai |
Sekitar delapan abad kemudian, salah satu bisyaroh (bukti)
nubuwah tersebut mampu diwujudkan oleh seorang hamba Allah yang bernama
Muhammad Al Fatih atau Mehmed II, yang merupakan seorang Sultan ke-7 dari
Kesultanan Turki Ustmani beserta sekitar 250.000 orang tenteranya. Keberhasilannya menaklukkan Konstatinopel membuatnya diberi
gelar Al-Fatih. Berasal dari kata: fataha – yaftahu. Artinya membuka atau
membebaskan. Sultan Muhammad Al Fatih menaiki takhta ketika berusia 19 tahun
dan memerintah selama 30 tahun (1451 – 1481).
Kota
konstatinopel atau disebut juga Byzantium (kini disebut Istanbul) adalah kota
yang memiliki pesona yang kuat pada masa itu. Letaknya sangat strategis, yaitu
di batas antara Eropa dan Asia. Bagian daratnya merupakan salah satu bagian
dari Jalur Sutera, sedangkan di bagian lautnya, daerah ini berada di antara
Laut Tengah dengan Laut Hitam. Pesonanya ini membuat banyak bangsa pada masa
itu mengincarnya. Banyak ekspedisi-ekspedisi yang telah dilakukan, namun
benteng Konstatinopel tetap tidak tertembus.
Konstantinopel merupakan salah satu kota terbesar dan
benteng terkuat di dunia saat itu, dikelilingi lautan dari tiga sisi sekaligus, yaitu selat Bosphorus, Laut Marmarah dan Tanduk Emas yang
dijaga dengan rantai yang sangat besar, hingga tidak memungkinkan untuk
masuknya kapal musuh ke dalamnya. Di
samping itu, dari daratan juga dijaga dengan pagar-pagar sangat kokoh yang
terbentang dari laut Marmarah sampai Tanduk Emas. Memiliki benteng setinggi 60
kaki, sedangkan pagar bagian luarnya memiliki ketinggian 25 kaki. Selain itu
juga terdapat tower-tower pemantau yang terpencar dan dipenuhi tentara
pengawas. Dari segi kekuatan militer, kota ini dianggap sebagai kota yang
paling aman dan terlindungi, karena di dalamnya ada pagar-pagar pengaman,
benteng-benteng yang kuat dan perlindungan secara alami. Dengan demikian, maka
sangat sulit untuk bisa diserang atau ditaklukkan. Kedudukan Konstantinopel
yang strategis diillustrasikan oleh Napoleon Bonaparte; ".....kalaulah
dunia ini sebuah negara, maka Konstantinopel inilah yang paling layak menjadi
ibukota negaranya!".
Para
khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Konstantinopel. Di
zaman Mu'awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu 'Anhu pernah dilakukan ekspedisi
namun gagal. Di masa shahabat, memang pasukan muslim sudah sangat dekat dengan
kota itu, bahkan salah seorang shahabat yang menjadi anggota pasukannya
dikuburkan di seberang pantainya, yaitu Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahuanhu.
Tetapi tetap saja kota itu belum pernah jatuh ke tangan umat Islam sampai 800
tahun lamanya.
Abu Ayyub Al-Anshari berkata,"Aku
mendengar baginda Rasulullah SAW bersabda bahwa ada seorang lelaki shalih akan
dikuburkan di bawah tembok tersebut, Dan aku juga ingin mendengar derap tapak
kaki kuda yang membawa sebaik-baik raja, yang mana dia akan memimpin
sebaik-baik tentara seperti yang telah diisyaratkan oleh baginda".
Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah
Umayyah, pemerintahan Abbasiyyah, dan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia
Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk.
Awal
kurun ke-8 hijriyah, Daulah Utsmaniyah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk.
Kerjasama ini memberi napas baru kepada usaha umat Islam untuk menguasai
Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sulthan Yildirim Bayazid saat dia
mengepung bandar itu tahun 796 H/1393 M. Peluang yang ada telah digunakan oleh
Sultan Bayazid untuk memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinopel secara
aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena
datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur
Lenk.
Selepas
Daulah Utsmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan terarah, semangat
jihad hidup kembali. Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M) meneruskan usaha
penaklukan Kostantinopel. Beberapa usaha berhasil dibuat untuk mengepung kota
itu tetapi belum membuahkan hasil. Sultan Murad II mewariskan perjuangan
penaklukan Konstatinopel kepada anak beliau, Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmed
II).
Setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan
Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul
Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Muhammad II mengirim surat kepada Paleologus
untuk masuk Islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai atau perang. Constantine Paleologus menjawab tetap mempertahankan kota
dengan dibantu oleh Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovanni Giustiniani
dari Genoa.
Sebelum
menaklukkan Konstantinopel, ada khutbah yang disampaikan al Fatih untuk
seluruh pasukannya:
“Jika
penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah SAW telah menjadi
kenyataan dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti, maka kita akan
mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits ini, yang
berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh
karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu persatu, bahwa kemenangan besar
yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk
itu, wajib bagi setiap pasukan, menjadikan syariat selalu didepan matanya dan
jangan sampai ada diantara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini.
Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja.
Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak
berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran”
Benteng
kota Konstatinopel memang sulit ditembus, selain di sisi luar benteng pun
dilindungi oleh parit 7 m. Dari sebelah barat
melalui pasukan altileri harus membobol benteng dua lapis, dari arah selatan
laut Marmara pasukan laut harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan
Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit Golden
Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil
pun tak bisa lewat.
Berhari-hari
hingga berminggu-minggu benteng Byzantium tak bisa jebol, kalaupun runtuh
membuat celah pasukan Constantine mampu mempertahankan celah tersebut dan
dengan cepat menumpuk kembali hingga tertutup. Usaha lain pun dicoba dengan
menggali terowongan di bawah benteng, cukup menimbulkan kepanikan kota, namun
juga gagal. Hingga akhirnya sebuah ide yang cemerlang muncul.
Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah melalui selat Golden Horn yang
sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya dilakukan, yaitu memindahkan kapal-kapal
melalui darat untuk menghindari rantai penghalang. Alhasil, hanya dalam
semalam, 70-an kapal bisa memasuki wilayah selat Golden Horn.
29
Mei, setelah sehari istirahat perang Muhammad II kembali menyerang total,
diiringi hujan dengan tiga lapis pasukan, irregular di lapis pertama, Anatolian
Army di lapis kedua dan terakhir pasukan Yanisari.
Giustiniani
sudah menyarankan Constantine untuk mundur atau menyerah tapi Constantine tetap
konsisten hingga gugur di peperangan. Kabarnya Constantine melepas baju perang
kerajaannya dan bertempur bersama pasukan
biasa hingga tak pernah ditemukan jasadnya. Giustiniani sendiri meninggalkan
kota dengan pasukan Genoa-nya. Kardinal Isidor sendiri lolos dengan menyamar
sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan gugur di peperangan.
Ketika
Konstantinopel telah jatuh ke tangan pasukan Islam, penduduk kota
berbondong-bondong berkumpul di Hagia Sophia, dan Sultan Muhammad II memberi
perlindungan kepada semua penduduk, baik Islam, Yahudi ataupun Kristen. Hagia
Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja lain tetap sebagaimana
fungsinya bagi penganutnya.
Diceritakan bahwa tentara Sultan
Muhammad Al Fatih tidak pernah meninggalkan salat wajib sejak baligh dan
separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan salat tahajjud sejak baligh.
Hanya Sultan Muhammad Al Fatih saja yang tidak pernah meninggalkan salat wajib,
tahajud dan rawatib sejak baligh hingga saat kematiannya.
Suatu hari timbul permasalahan kecil ketika pasukan islam
hendak melaksanakan shalat jum’at untuk yang pertama kalinya di kota itu yaitu,
“Siapakah yang layak menjadi imam shalat jum’at?”
Tak
ada jawaban. Tak ada yang berani yang
menawarkan diri. lalu Muhammad Al Fatih tegak berdiri. Beliau meminta kepada
seluruh rakyatnya untuk bangun berdiri.
Kemudian beliau bertanya, “Siapakah
diantara kalian yang sejak remaja, sejak akhil baligh hingga hari ini pernah
meninggalkan meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk!”
Tak
seorangpun pasukan islam yang duduk. Tentara islam pimpinan Muhammad Al Fatih
sejak masa remaja mereka hingga hari itu, tak pernah satu kali pun meninggalkan
shalat fardhu.
Lalu Muhammad Al Fatih kembali
bertanya, “Siapa diantara kalian yang sejak baligh dahulu hingga hari ini
pernah meninggalkan shalat sunah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan
shalat sunah sekali saja silakan duduk!”.
Sebagian
pasukan kemudian duduk, artinya, pasukan islam sejak remaja mereka ada yang
teguh hati, tidak pernah meninggalkan shalat-shalat
rowatib. Namun ada yang pernah meninggalkanya. Betapa kualitas karakter dan
keimanan mereka sebagai muslim sungguh bernilai tinggi, sungguh jujur, pasukan
islam pimpinan Al Fatih.
Muhammad
Al Fatih kembali bertanya: “Siapa diantara kalian yang sejak masa akhil
baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di kesunyian malam?
Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk!”
Semua
yang tadinya berdiri segera duduk. Hanya ada seorang saja yang tetap tegak
berdiri. Siapakah dia? dialah, Sultan Muhammad Al Fatih, sang penakluk benteng
super power Byzantium Konstantinopel. Beliaulah yang
pantas menjadi imam shalat jumat hari itu. Karena hanya Al Fatih seorang yang
sejak remaja selalu mengisi butir-butir malam sunyinya dengan bersujud kepada
Allah SWT, tidak pernah kosong atau absen semalampun.
Sebagai
sebuah wasiat untuk anaknya yang akan meneruskan kepemimpinan, maka Al Fatih
menyampaikan wasiat kepada anaknya:
“Aku sudah diambang kematian. Tapi aku berharap aku tidak
kawatir, karena aku meninggalkan seseorang sepertimu. Jadilah seorang pemimpin
yang adil, shalih dan penyayang. Rentangkan pengayomamu untuk rakyatmu, tanpa
kecuali, bekerjalah untuk menyebarkan islam. Karena sesungguhnya itu merupakan
kewajiban para penguasa di muka bumi. Dahuluklan urusan agama atas apapun
urusan lainnya. Dan janganlah kamu jemu dan bosan untuk terus menjalaninya.
Janganlah engkau angkat jadi pegawaimu mereka yang tidak peduli dengan agama,
yang tidak menjauhi dosa besar, dan yang tenggelam dalam dosa. Jauhilah olehmu
bid’ah yang merusak. Jagalah setap jengkal tanah islam dengan jihad. Lindungi
harta di baitul maal jangan sampai binasa. Janganlah sekali-kali tanganmu
mengambil harta rakyatmu kecuali dengan cara yang benar sesuai ketentuan islam.
Pastikan mereka yang lemah mendapatkan jaminan kekuatan darimu. Berikanlah
penghormatanmu untuk siapa yang memang berhak.”
“Ketahuilah, sesungguhnya para ulama adalah poros kekuatan
di tengah tubuh negara, maka muliakanlah mereka. Semangati mereka. Bila ada
dari mereka yang tinggal di negeri lain, hadirkanlah dan hormatilah mereka.
Cukupilah keperluan mereka.”
“Berhati-hatilah, waspadalah, jangan sampai engkau tertipu
oleh harta maupun tentara. Jangan sampai engkau jauhkan ahli syari’at dari
pintumu. Jangan sampai engkau cenderung kepada pekerjaan yang bertentangan
dengan ajaran islam. Karena sesungguhnya agama itulah tujuan kita, hidayah
itulah jalan kita. Dan oleh sebab itu kita dimenangkan.”
“Ambilah dariku pelajaran ini. Aku hadir ke negeri ini
bagaikan seekor semut kecil. Lalu allah memberi nikmat yang besar ini. Maka
tetaplah di jalan yang telah aku lalui. Bekerjalah untuk memuliakan agama islam
ini, menghormati umatnya. Janganlah engkau hamburkan uang negara,
berfoya-foya, dan menggunakannya melampaui batas yang semestinya. Sungguh itu
semua adalah sebab-sebab terbesar datangnya kehancuran.”
Muhammad
al-fatih adalah sebuah keperibadian yang luar biasa. Seorang pemimpin negara yang
cerdas sekaligus sebagai pemimpin perang yang tangguh bagi para tentaranya di
medan pertempuran. Disisi lain dia juga seorang ‘alim dan tawadduk dalam
hidupnya. Selalu mengutamakan urusan agama diatas urusan dunia. Selalu mendirikan
pilar-pilar agama atas diri, tentara dan rakyatnya, baik itu yang wajib ataupun
yang sunnah.
Al-Fatih
adalah seorang pemimpin idaman umat masa kini. Wallahua’lam...
(di ambil dari sebuah artikel)