Rumah Sepi |
Dari kejauhan saya melihat sebuah rumah yang bentuknya tidak terlalu besar
dan juga megah. Ia sederhana dan meneduhkan. Hingga akhirnya saya berniat untuk
mendatanginya. Kaki saya mulai melangkah, tangan saya berayun mengikuti irama
kaki, mata saya menatap lurus, badan saya tegap lurus menghadapnya dan bahkan
hati saya terpokus sepenuhnya. Semakin dekat kaki ini melangkah semakin hati
ini berdebar. Sungguh meneduhkan. Mata dan fikiran ini memperhatikannya dengan
seksama hingga akhirnya ia terfokus pada pintu rumah. Pintunya terbuka lebar.
Bibir saya mengembang pertanda ada secercah harapan di hati. Dengan hati berat
lisan saya mengucapkan salam, dengan harapan sang penghuni rumah berkenan
menjawab dan menemui saya di luar. “Assalamu’alaikum.” Sepi... berkali-kali
saya mengulang salam namun tetap saja tidak ada jawaban. Saya pun duduk
termenung. apa iya rumah yang rapi dan teduh ini tak berpenghuni?? Halamannya
yang bersih dan tertata rapi menggambarkan bagaimana penghuni rumah ini
sendiri. Sungguh saya terkesan. Lama saya duduk kemudian kembali mengulang
salam, namun belum juga ada jawaban. Hingga akhirnya saya mencoba mengambil
kesimpulan, mungkin penghuninya sedang mempersiapkan sesuatu di dalam sehingga
ia belum keluar, kata hati saya menghibur diri. Harapan pun timbul kembali.
Saya masih duduk manis menunggu.
Waktu terus berjalan, hingga tak terasa berapa lama saya duduk di luar.
Perlahan saya bangun sambil meregangkan sendi-sendi tubuh saya yang mulai pegal
kemudian beranjak ke pintu mengucap salam. Sunyi. Sepi. Lagi-lagi tidak ada
jawaban. Pikiran saya mencoba menerawan, kalau memang ia mempersiapkan sesuatu.
Apa ia selama ini?? Kalau hanya mempersiapkan hidangan, saya rasa tidak perlu
berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, apalagi berbulan-bulan. Cukup
beberapa menit saja. Dan juga persiapkan apa yang ada saja. Itu cukup. Tidak
perlu berlebih-lebihan, karena saya pun sebagai tamu sudah punya persiapan
perbekalan tanpa harus merepotkan penghuni rumah sepenuhnya. Ah.. andaikan si
penghuni rumah keluar sebentar saja. Saya akan bilang tidak perlu repot-repot
mempersiapkan sesuatu. Saya ini biasa-biasa saja. Saya bukan pejabat yang butuh
penyambutan luar biasa. Saya hanya orang biasa sebagaimana umumnya. Tapi sayang,
ia belum juga muncul keluar.
Tak terasa matahari semakin condong ke barat. Hari sudah semakin sore. Hati
saya menjadi cemas. Berbagai macam pertanyaan berseliweran di kepalaku. Semakin
lama semakin terasa detik waktu yang ku lalui. Dengan hati penuh harap saya
kembali menuju pintu mengucap salam. Tiba-tiba lampu teras menyala, beriringan
dengan nyalanya lampu halaman. Saya lihat dari luar ruang depan, lampu kamar
rumah itu dinyalakan. Suasana menjelang malam menjadi terang benderang
menggantikan sinar matahari yang mulai meredup. Saya yang sudah sejak lama
menunggu semakin yakin bahwa rumah ini berpenghuni. Ya ia berpenghuni.
Kali ini saya semakin takjub melihat rumah itu. Dengan kesederhanaannya
membuat hati saya menjadi tenang. sedikit demi sedikit hawa damai menyelimuti
hatiku. Saya mencoba merasakannya meskipun fikiranku masih bertanya-tanya.
Gelap benar-benar menutupi petala langit. Sinar matahari sudah tak
menyisakan bias di ufuk barat. Satu persatu bintang gemintang mulai menampakkan
diri berkelap-kelip bak mutiara. Hanya ada sedikit awan pekat mengambang diatas
timur sana. Ada apa dengan awan itu? Saya kembali duduk sambil mengamati awan
itu. Sepertinya ia enggan pergi dari posisinya. Itu telihat dari pergerakannya
yang begitu lamban. Lamban sekali. Namun saya terus menatapnya memperhatikan
pergerakannya. Beberapa menit kemudian, baru saya faham. Ternyata dibalik awan
pekat itu ada rembulan setengah sempurna malu-malu menampakkan diri. Duh ia
begitu indah dan manis. Meskipun dengan ketidaksempurnaannya, ia mau menyapa
dunia yang sangat membutuhkannya. Kekurangan bukan alasan baginya untuk berbagi
cahayanya. Bila menunggu kesempurnaan maka itu membutuhkan waktu yang cukup
lama. Dan bila ia telah sempurna, maka kesempurnaannya hanya terjadi dalam
waktu yang singkat. Hanya satu malam saja, jika dibandingkan dengan
ketidaksempurnaanya yang terjadi selama hampir sebulan penuh. Mungkin
perinsipnya ketidaksempurnaan bukan alasan untuk tidak berbuat baik dan
berbagi.
Beberapa saat saya tertegun menatapnya, kemudian pandangan saya beralih ke
rumah yang sudah sejak lama saya tunggu penghuninya menampakkan diri. Belum
juga muncul. Kemudian kembali melihat bulan. Kembali melihat rumah. Terus
berulang sampai beberapa kali. Hati saya berkata, alangkah mulianya orang yang
memiliki sikap seperti bulan. Ia berbagi dan terus berbagi, bahkan ia tak
berharap untuk dihargai. Tanpa kusadari mata saya basah. Ada cairan bening
menggenang di area lensa mataku. Saya terharu dan takjub. Ternyata masih ada
mahluk-Nya yang memiliki sifat yang begitu luhur disaat sebagian mahluk sudah
tidak memilikinya. Mungkin jumlahnya banyak namun tidak saya sadari keberadaannya.
Rabbi! Jadikanlah hambamu ini menjadi hambamu yang bersyukur atas nikmat
yang terlah engkau datangkan dan yang akan engkau datangkan. Dan jangan engkau
jadikan hamba menjadi orang yang mengabaikan segala nikmat yang telah engkau
limpahkan kepada hamba.
Waktu terus berlaku. Malam semakin larut. Saya melongo jam tangan yang
menempel di tangan kanan saya. Jarum jam menunjukkan jam 10.00. setelah lama
duduk menanti namun tetap saja belum ada kepastian, saya bangun sambil
menggerak-gerakkan bahu dan pinggulku yang mulai ngilu. Mataku kembali menatap
lekat-lekat rumah itu. Meskipun terlihat terang, lama-kelamaan menjadi terasa
benar-benar sunyi dan sepi. Hawa dingin malam mulai meraba pori-pori kulitku.
Hatiku mulai berbisik-bisik, “mungkin penghuni rumah itu tidak berkenan dengan
kedatangan kamu. Atau mungkin ia tidak ada waktu untuk menemui kamu. Sudahlah,
kamu jangan paksa diri sendiri. Gak baik.” Kata hatiku. “jangan paksa orang
lain, sebagaimana kamu juga tidak ingin dipaksa.” Tambahnya lagi. Setelah hati
berkutat, bergejolak, berperang dengan kesendiriannya. Sampailah ia pada satu
titik.
Saya mulai merapikan perbekalan yang saya bawa. Saya kemas semuanya menjadi
satu. Saya bersiap-siap untuk membalikkan badan. Saat kaki ini hendak
melangkah, terasa begitu berat. Ia bagaikan telah mengakar di tempat ini. Sulit
untuk dicabut. Akarnya telah menjalar kemana-mana. Sesaat saya berdiri diam.
Kepala saya menoleh ke belakang ke arah pintu, tetap saja seperti semula.
Perlahan hati saya membujuk sang kaki agar berjiwa besar atas apa yang dialami
waktu itu. Apa yang diharapkan belum tentu akan dicapai. Apa yang diinginkan
belum tentu akan terlaksana. Disinilah ikhlas berperan, kata hatiku.
Lambat laun kakiku sudah mulai terangkat dan melangkah satu demi satu.
Perlahan sambil melangkah, kepala ini tetap menoleh ke belakang,
mungkin-mungkin ada seseorang keluar memanggil saya. Namun sampai jarak ini tak
terukur bentangan talipun, belum ada yang keluar. Mungkin ia takkan keluar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar