Pertemuan Para Presiden Syi'ah |
A. PENDAHULUAN
Banyak media nasional ataupun internasional memberitakan bahwa konflik yang
tejadi di Suriah antara kelompok oposisi penentang rezim
pemerintah dengan milisi pro-Pemerintah telah menelan banyak korban jiwa. Dari beberapa
situs media menyatakan bahwa menurut organisasi pemantau HAM Suriah (Syrian Observatory for Human Rights), total korban tewas mencapai 82.257 orang.
Dari angka tersebut, sekitar 34.473 korban tewas di antaranya merupakan warga
sipil. Termasuk di dalamnya, 4.788 anak-anak dan 3.049 perempuan.[2]
Dua bulan berselang setelahnya, Sekjen PBB Ban Ki-moon menyebutkan bahwa konflik di Suriah yang berlanjut hampir dua setengah tahun tersebut telah
menewaskan lebih dari 100.000 orang dan menyebabkan jutaan orang meninggalkan
rumahnya atau menjadi pengungsi di negara-negara tetangga. Dia menyampaikan pernyataan ini di kantor pusat
PBB di New York bersama Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry.[3] Berita terakhir pada 2 Desember 2013 lalu
menyatakan bahwa jumlah korban tewas telah meningkat menjadi sedikitnya 125.835
orang. Lebih dari sepertiga di antaranya adalah warga sipil. Tetapi angka yang sebenarnya
mungkin jauh lebih tinggi dari itu. Laporan ini diperoleh dari Observatorium
Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR).[4]
Dari beberapa sumber menyatakan, konflik yang telah menelan banyak
korban jiwa antara oposisi dengan milisi pro-pemerintah tidak hanya didasari
oleh kepentingan politik semata. Namun dibalik semua itu, konflik tersebut
disebabkan karena perbedaan pandangan keagamaan antara kedua belah pihak di
negara tersebut yang telah terjadi puluhan tahun lamanya.[5]
Hal ini bisa diliat dari situs Kompas yang membertakan bahwa kelompok oposisi
penentang pemerintah merupakan kelompok muslim sunni sedangkan yang pro
pemerintahan yang berkuasa didominasi oleh kelompok Alwait[6]
(Nuṣairiyah).[7]
Presiden yang berkuasa pun, Bashar Asad dan keluarganya merupakan penganut
syiah Nuṣairiyah.[8]
Kaitannya dengan pembahasan kita, sebagian besar pihak atau
masyarakat tidak mengenal dan mengetahui seluk beluk syiah Nushairiyah yang
dianut oleh presiden Suriah beserta para penganutnya. Bahkan banyak dari
masyarakat kita yang ikut-ikutan dengan pemberitaan media yang sengaja
menutup-nutupi fakta yang terjadi di Suriah. Padahal jika kita kaji lebih
dalam, perbedaan pandangan antara kelompok ini dengan muslim Ahlus Sunnah merupakan
mainstream yang sangat tajam. Oleh karenanya makalah ini bertujuan menjelaskan
tiga poin penting mengenai inti atau jati diri Syiah Nushairiyah. Ketiga hal
tersebut meliputi sejarah berdiri, pandangan aqidah dan berbagai ajaran yang
dianut oleh Syiah Nushairiyah. Dengannya diharapkan pembaca bisa mendudukkan
persoalan konflik di Suriah secara benar.
B. PEMBAHASAN
1. Sejarah Syiah Nushairiyah
Nushairiyah merupakan gerakan syi’ah batiniyah[9]
yang muncul pada abad ke-tiga hijriyah. Nama Nushairiyah diambil dari nama
pendirinya sendiri, yaitu Muhammad Ibnu Nuṣair Al-Numairi,[10]
yang dikenal dengan kunniyah (panggilan) Abu Syu’aib.[11]
Kota kelahirannya adalah Persia (Iran) dan termasuk
penganut syiah Istna Asy’ariyah yang meninggal pada tahun 270
hijriyah. Ia sezaman dengan tiga iman Syiah Istna Asy’ariyah,
yaitu imam kesepuluh Ali
Al-Hadi, imam kesebelas Hasan Al-‘Askari, dan imam kedua belas Muhammad al-Mahdi.[12]
Menurut para
pakar sekte Syi’ah, pada awalnya Abu Syu’aib adalah seorang maula
(hamba sahaya) yang dimerdekakan oleh imam ke-11 kaum Syi’ah, Al-Hasan
Al-‘Askari. Namun setelah kemerdekaannya, Abu Syu’aib sering mendapat keritikan keras dari Al-Hasan Al-‘Askari disebabkan oleh keyakinan
dan pemikirannya yang menyimpang dari pemahaman Syiah Istna Asy‘ariyah.[13]
Dalam suatu diskusi dengan para pengikut Syi’ah Itsna ‘Atsariyah, Abu Syu’aib
terlibat perselisihan yang tajam. Ia mengklaim dirinya sebagai al-bab (penghubung)
kaum syi’ah dengan imam mereka yang ke-12, Muhammad bin Hasan Al-Askari yang
dijuluki Al-Mahdi Al-Muntazhar. tetapi klaim ini ditolak oleh seluruh kelompok
Syi’ah Itsna Asy’ariyah lainnya, karena menurut mereka, al-bab bagi imam
ke-12 adalah ada empat orang, yaitu Utsman bin Sa’id Al-‘Amri, Muhammad bin
Utsman bin Sa’id, Husain bin Ruh An-Naubakhti (w. 326 H), dan Ali bin Muhammad
As-Samiri.[14]Akibat perselisihan tersebut, Abu Syu’aib memisahkan diri dan membentuk kelompok
sendiri yang kemudian hari disebut Nushairiyah.[15]
Sebagaimana
sekte Syi’ah ekstrim lainnya,[16] Nushairiyah
juga meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Ilah (Tuhan yang wajib disembah).
Dari sumber Syi’ah menyebutkan bahwa
Al-Hasan Al-‘Askari menulis surat peringatan kepada para pengikutnya agar
berhati-hati terhadap paham Nushairiyah,
أني
أبرأ إلى الله من ابن نصير النميري, وابن بابا القمى. فابرأ منهما. وإني محذرك و
جميع مواليّ٬ ومخبرك أنّي العنهما – عليهما لعنة
الله – فتّانين موذيين. آذاهما الله. وأرسلهما في اللعنة. وأركسهما في الفتنة . .
.
“Sesungguhnya aku berlepas diri kepada
Allah dari Ibnu Nushair An-Numairi dan Ibnu Baba Al-Qumi. Aku berlepas diri
dari keduanya. Aku memperingatkanmu dan memperingatkan seluruh mawali
(pengikut)ku dari keduanya. Aku memberitahukan kepada kalian bahwa aku melaknat
kedua orang itu. Semoga laknat Allah ditimpakan kepada keduanya. Keduanya
adalah tukang pembuat fitnah dan perusuh. Semoga Allah menyiksa keduanya,
mengirimkan keduanya ke dalam fitnah, dan menjungkir balikkan keduanya di atas
fitnah.”[17]
Ibnu Ja’far Muhammad bin Hasan Al-Thusi
menulis dalam Kitab Al-Gaibah tentang kutukan tokoh syiah terhadap Ibnu Nushair karena
ia mengklaim dirinya sebagai nabi dan al-bab (pintu penghubung dengan imam
Al-Mahdi Al-Muntazhar, imam ke-12 versi Syi’ah), mengklaim para imam ahlul bait
adalah Ilah (tuhan yang berhak disembah), meyakini reinkarnasi,
menghalalkan khamr dan homoseksual, dan pendapat-pendapat keji lainnya.[18]
وقال
سعد بن عبد الله: كان محمدّ بن نصير النّمير يدّعي انّه رسول نبيّ وأنّ عليّ بن
محّمد عليه السلام أرسله٬ وكان يقول بالتّناسخ٬ ويغلو في أبي الحسن عليه السلام
ويقول فيه بالربوبية٬ ويقول بالإباحة للمحارم٬ وتحليل نكاح الرجال بعضهم بعضا في
ادبارهم٬ ويزعم أنّ ذلك من التّواضع والإخبات
والتّذلّل في المفعول به وأنّه من الفاعل إحدى الشّهوات والطّيّبات٬ وأنّ الله عزّ وجلّ لايحرّم شيئا من
ذلك وكان محمدّ بن موسى بن الحسن بن الفرات يقوّي أسبابه ويعضده.
Bila diamati hampir seluruh literatur Syi’ah sendiri
mengakui dan menyesatkan pemahaman dan ajaran yang di anut oleh Muhammad Ibnu
Nushair An-Namiri, sebagaimana ditulis oleh para ulama syiah dalam buku mereka
seperti, As-Sayid Abdul Husain Mahdi Al-Askari, dalam bukunya yang berjudul
“Al-‘Alawiyyun aw An-Nushairiyah,[19]
Sa’ad Al-Qumi
dalam bukunya Al-Maqalat wal Firaq,[20]
An-Naubakhti dalam bukunya Firaq Asy-Syi’ah,[21]
Abu Umar Al-Kasyi dalam bukunya Rijalul Kasyi,[22]
Abu Ja’far Ath-Thusi dalam bukunya Rijaluth Thusi dan Kitab al-Ghaibah,[23]
Al-Halabi dalam bukunya Ar-Rijal, Ath-Thibrisyi dalam bukunya Al-Ihtijaj, dan Musthafa Asy-Syibi dalam bukunya Ash-Shilah baina
At-Tashawwuf wa at-Tasyayyu’.[24]
Seorang ulama besar Syi’ah Itsna
Asyariyah abad ke-3 H, Sa’ad bin Abdullah Al-Qumi (wafat tahun 301 H.) menulis:
“Telah menyimpang satu kelompok dari kelompok-kelompok (Syi’ah Itsna
‘Asyariyah) yang mengatakan keimaman Ali bin Muhammad pada masa hidupnya.
Kelompok yang menyimpang ini mengakui kenabian seorang laki-laki yang dikenal
dengan panggilan Muhammad bin Nushair An-Numairi yang telah mengklaim dirinya
sebagai nabi dan rasul. Ia mengklaim bahwa imam Ali bin Muhammad Al-Askari
telah mengutusnya sebagai rasul. Ia meyakini reinkarnasi, bersikap ekstrim tentang
diri Abul Hasan (Ali bin Abi Thalib–edt) dengan menyatakan Abul Hasan adalah
Rabb (Tuhan Sang Pencipta, Pengatur alam, dan Pemberi rizki—edt). Ia
menghalalkan menikahi wanita-wanita mahram dan memperbolehkan laki-laki
menikahi laki-laki pada duburnya (homoseksual), dan menyatakn hal itu adalah
bukti tawadhu’ (kerendahan hhati) dan penghinaan diri terhadap obyek seksual…”[25]
Dalam buku Firaq Asy-Syi’ah karangan Hasan bin Musa An-Naubakhti menyebutkan fakta yang serupa dengan diatas.[26]
Begitu juga dengan ulama besar fiqih di kalangan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, Abu
Ja’far Ath-Thusi, dalam bukunya Kitab Al-Ghaibah menjuluki Ibnu Nushair
An-Numairi sebagai orang atheis, menyimpang, dan bodoh.[27]
Penjelasan oleh
para ulama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah terdahulu ini ditegaskan kembali oleh
seorang ulama besar Syi’ah Itsna ‘Atsariyah kontemporer, Muhammad Ridha
Syamsudin. Ketia Ia diutus oleh Abdul Hadi Asy-Syairazi, pemimpin ulama besar
Syi’ah Istna Asyariyah di kota ilmu mereka, Nejef, untuk mengunjungi dan
meneliti keadaan kelompok Nushairiyah di Suriah, tahun 1376 H. Dalam laporan
kunjungan tersebut, Muhammad Ridha Syamsudin menulis:
“Sesungguhnya
kelompok Nushairiyah sampai hari ini masih memegang teguh pemikiran pemimpin
mereka, Muhammad bin Nushair.”[28]
Ia menyebutkan bahwa kunjungannya
disambut dengan hangat oleh kelompok Nushairiyah. Hanya saja
ia memperhatikan bahwa kelompok Nushairiyah sama sekali tidak peduli dengan
kewajiban-kewajiban agama seperti shalat, shaum, haji, dan di wilayah mereka
tidak ada masjid. Ia juga mendapati keyakinan reinkarnasi masih tersebar merata
di antara mereka.[29]
Kesaksian ulama besar Syi’ah Itsna
Atsariyah ini merupakan bukti nyata dan valid dari kalangan mereka sendiri.
Kesaksian hasil kunjungan di tahun 1376 H itu dituangkannya dalam bukunya yang
berjudul Al-‘Alawiyyun fi Suriyah, dan dimuat pula oleh ulama Syi’ah lainnya,
As-Sayid Abdul Husain Asy-Syi’i dalam bukunya, Al-‘Alawiyyun aw
An-Nushairiyyah.[30]
Perlu diketahui bahwa Ibnu Nushair
bukanlah orang Syi’ah pertama yang mengklaim Ali bin Abi Thalib dan para imam
anak keturunannya adalah Rabb, Ilah, dan mengetahui ilmu tentang hal-hal ghaib.
Orang pertama meletakkan dasar-dasar keyakinan itu adalah Abdullah bin Saba’
berasal dari keturunan Yahudi, yang hidup di zaman Utsman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib. Pengikutnya dikenal dengan sebutan Syi’ah Saba’iyah. Setelah itu,
muncul Abul Khathab dengan kelompok Syi’ah Khathabiyah yang mengklaim para imam
adalah Tuhan-tuhan yang harus disembah. Imam Ja’far Ash-Shadiq berlepas diri
dari Abul Khatab, bahkan ia mencela dan mengusirnya. Setelah
itu, kesesatan Abul Khatab justru semakin menjadi-jadi. Ia mengklaim dirinya
adalah Tuhan. Ibnu Nushair An-Numair banyak mengambil pemikiran Khathabiyah
sebagai pijakan akidah kelompoknya.[31]
Khathabiyah
adalah kelompok ekstrim Syi’ah pengikut Abul Khathab Al-Mukhallis Muhammad bin
Abu Zainab Al-Kahili. Menurut kelompok Nushairiyah, ia adalah al-bab bagi imam
ke-7 kelompok Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, Musa al-Kazhim. Abu Khatab adalah tokoh
panutan Nushairiyah, karena dari dirinyalah Nushairiyah mengambil pendapat
bersatunya Allah dengan jasad Ali bin Abi Thalib dan para imam ahlul bait.
Murid utama Abul Khatab adalah Mufadhal bin Umar Al-Ju’fi, tokoh yang menulis
buku Al-Haft wa Al-Azhilah. Buku
ini diyakini oleh kelompok Nushairiyah sebagai kitab ‘suci’ mereka.[32]
Barangkali satu-satunya hal yang
berubah hanyalah sikap Syi’ah Itsna Asyariyah masa lalu
dengan sikap kontemporer mereka terhadap sekte Nushairiyah. Imam kesebelas
ahlul bait dan tokoh-tokoh ulama Syi’ah Itsna Asyariyah terdahulu sepakat
menghujat Nushairiyah. Namun, sekarang para tokoh Syi’ah Itsna Atsariyah telah
merangkul dan mengakui sekte Nushairiyah sebagai bagian tak terpisahkan dari
Syi’ah Itsna Atsariyah. Pemimpin ulama Syi’ah Itsna Atsariyah di kota ilmu,
Nejef, Abdul Hadi Asy-Syairazi telah menegaskan hal itu dalam bukunya yang
berjudul “Al-‘Alawiyyun Syi’atu Ahlil Bait.”[33]
Realita kontemporer memang menjadi
bukti atas persatuan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dan Nushairiyah. Sebagai sesama
syi’ah ekstrim yang memiliki banyak akidah menyimpang yaitu meyakini unsur ketuhanan pada diri Ali dan imam-imam ahlul
bait, meyakini para imam memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib,
meyakini para imam berkuasa mengatur kehidupan seluruh makhluk, amat wajar bila
anak bernama Nushairiyah ini pulang kandang ke pangkuan induk semangnya, Syi’ah
Itsna Atsariyah. Keberpihakan Syi’ah Nushairiyah yang membantu Syi’ah Itsna
‘Asyariyah dalam membantai kaum muslimin di Lebanon dan Suriah sudah bukan
rahasia lagi.[34]
Selain menggunakan nama Nushairiyah
kelompok Syi’ah ini juga dikenal dengan beberapa nama[35],
yaitu:
- Nushairiyah. Menurut pendapat yang paling kuat, nama
ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Nushair An-Numairi. Nama
ini adalah nama yang dibenci oleh para pengikut Nushairiyah. Mereka
membela diri dengan menuduh penamaa ini berasal dari musuh-musuh mereka
atas dasar kebencian. Namun fakta sejarah sejak zaman pendiri gerakan ini
telah mengaitkan penamaannya dengan nama pendirinya. Bahkan, sekte-sekte
ekstrim Syi’ah Itsna Asyariyah yang lain juga menyebut mereka dengan nama
Nushairiyah. Sehingga nama ini adalah nama mereka yang paling populer
sampai saat ini.
- Alawiyyun, adalah nama yang paling disukai oleh para
pengikut Nushairiyah, terutama demi meraih simpati dan kedekatan dengan
sekte-sekte Syi’ah lainnya. Para pakar sejarah menyatakan mereka disebut
‘Alawiyyun karena menyembah Ali bin Abi Thalib dan para imam keturunannya.
Mereka meyakini Ali adalah Ilah (Tuhan yang berhak disembah). Nama ini
kembali dikukuhkan sebagai gelar kehormatan untuk mereka oleh penjajah
Perancis saat menduduki Suriah pada Perang Dunia I, 1917 M. Gubernur
Jendral Perancis di Suriah telah mengeluarkan surat keputusan resmi pada
tahun 1920 M yang mengakui Al-Alawiyyun sebagai pengikut dan pembela
kepentingan penjajahan Perancis.
- Numairiyah. Nama ini dinisbahkan kepada tokoh
pendirinya, Muhammad Ibnu Nushair An-Numairi.
- Surak. Nama ini diberikan oleh penguasa Turki pada saat
menguasai negeri-negeri Syam. Maknanya dalam bahasa Turki kuno adalah
orang-orang buangan.
- Syimaliyah dan Kalaziyah. Syimaliyah adalaha kelompok
Nushairiyah yang meyakini bahwa setelah meninggalkan jasad manusiawinya,
Ali bin Abi Thalib sebagai tuhan bersemayam di bulan. Adapun Kalaziyah
adalah kelompok Nushairiyah yang meyakini bahwa setelah meninggalkan jasad
manusiawinya, Ali bin Abi Thalib sebagai tuhan bersemayam di matahari.
Oleh karenanya, kedua kelompok ini mengagungkan bulan dan matahari, dan
melakukan sembahyang menghadapnya.[36]
2. Akidah Syiah Nushairiyah
Untuk memahami
Aqidah dan ajaran Syiah Nushairiyah tidak semudah mempelajari aqidah dan ajaran
seperti yang terdapat pada kaum Sunni ataupun pada agama-agama lain umumnya,
bukan karena sulit untuk dipahami dan diamalkan tetapi sulit untuk didapatkan
atau peroleh ilmunya.[37]
Dalam kitab karangan ulama mereka (Nushairiyah) menyatakan,
وأوصيك يا أخي ونفسي بكتمان سر الله تعالى٬ وباطن مكنونه٬ إلا من إخوانك الموحدين المقرين
بمعرفة علي الأعلى...
Aku nasehati
diriku dan kamu supaya menyembunyikan ilmu tentang Allah dan ilmu kebatinan,
kecuali hanya kepada saudaramu yang sejalan (sealiran) denganmu untuk
mengetahui tentang ketinggian Imam Ali..)[38]
Oleh kerena itu
aqidah dan ajaran mereka bersifat eksklusif, artinya yang berhak memperoleh
ajarannya hanya orang-orang tertentu yang sejalan dengan alirannya, atau dengan
kata lain tidak diajarkan dan dipasarkan secara umum.[39]
Bahkan mereka bersumpah untuk menyembunyikan aqidah mereka. Kalau ada yang
keluar dari alirannya, kemudian meyiarkan salah satu rahasia keyakinan mereka
maka dia akan diberikan sanksi dengan dibunuh.[40]
Adapun kaum wanita di kalangan mereka tidak diperkenankan untuk mengetahui
ajaran kelompoknya, karena mereka dianggap lemah akal dan teman setan, sedangkan
kaum laki-laki hanya diperbolehkan mengetahui ajaran kelompoknya ketika telah
berusia 19 tahun ke atas, dan lolos seleksi keanggotaan yang meliputi tiga
jenjang.[41] Perekrutan dan organisasi kelompok ini menyerupai sistem
perekrutan dan organisasi kelompok Yahudi Freemasonry, iluminity,
dan lainnya.[42]
Dari kitab suci
mereka, seperti Al-Haft Asy-Syarif min Fadha’il Maulana Ja’far Shadiq, Ta’limu
Dianat An-Nushairiyah dan buku-buku karangan para ulama Syi’ah ekstrim Itsna
‘Asyariyah serta pengikut Nushairiyah, bisa diketahui bahwa aqidah Nushairiyah
adalah sebagai berikut:
1.
Aqidah tentang Ketuhanan
Dalam aqidah Syi’ah Nushairiyah meyakini bahwa
tuhan menitis ( الحلول ) kepada manusia yang dipilih di bumi.[43]
Mereka meyakini penitisan tuhan itu telah terjadi dari semenjak pertama kali
manusia diciptakan. Ada tujuh manusia yang merupakan titisan tuhan dari awal
penciptaannya yaitu, Habil, Syit, Syam, isma’il, Harun, Syam’un dan Ali bin Abi
Thalib. Pada tiap-tiap fase penitisan, Allah mengangkat seorang rasul sebagai perantara atau penghubung antara
diri-Nya dengan manusia. Para rasul tersebut secara berturut-turut adalah Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad.[44]
Untuk
memudahkan dalam memahaminya sebagaimana tertera dalam tabel berikut:
No
|
Titisan Tuhan
|
Rasul
|
1
|
Habil
|
Adam
|
2
|
Syit
|
Adam
|
3
|
Sam
|
Nuh
|
4
|
Ismail
|
Ibrahim
|
5
|
Harun
|
Musa
|
6
|
Sham’un (Petrus)
|
Isa (Yesus)
|
7
|
Ali
bin Abi Thalib
|
Muhammad
SAW.
|
Ali bin Abi Thalib adalah salah satu titisan
tuhan yang mengalir pada dirinya sifat-sifat ketuhanan, sehingga Ali menurut
mereka adalah Ilah (tuhan) secara
bathin, seorang imam secara dzahir, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan,
tidak makan dan minum.[45]
Dalam keyakinan
mereka Ali Bin Abi Talib yang menciptakan Muhammad SWT. sebagai rasul yang
menjadi penghubung antara Ali (sebagai Ilah) dengan seluruh makhluknya. Oleh
karena itu, pada malam hari, Ali dan Muhammad SAW. berhubungan (menyatu),
sedangkan pada siang hari mereka berpisah seperti manusia biasa.[46]
Sementara untuk mengatur kehidupan di lagit, bumi
dan alam semesta secara keseluruhan, Muhammad SAW. menciptakan Salman
Al-Farisi, kemudian Salman Al-Farisi pun menciptakan lima anak yatim yang
bertugas sebagai wakil tuhan mengatur semuanya sesuai dengan tugas yang telah diberikan
kepada mereka, yaitu:
1.
Miqdad bin Aswad, bertugas untuk menciptakan manusia (Rabbun naas), Ia diberi kekuasaan juga untuk mengatur guntur dan petir.
2.
Abu
Dzar Al-Ghifar, diberi kekuasaan mengatur pergerakan bintang-bintang dan
planet-planet di angkasa.
3.
Utsman
bin Mazh’un, ia diberi kekuasaan mengatur lambung, suhu badan,
kesehatan dan penyakit manusia.
4.
Abdullah
bin Rawahah, ia diberi kekuasaan mengatur pergerakan angin dan mencabut
nyawa manusia.
5.
Qunbur
bin Kadan, ia diberi kekuasaan meniupkan nyawa ke dalam jasad janin manusia dalam
rahim.[47]
Dengan tiga keyakinan utama terhadap Ali bin
Abi Thalib, Nabi Muhammad SAW. dan Salman Al-Farisi, mereka (Syiah Nushairiyah)
menjadikannya sebagai tuhan trinitas yang mereka singkat dengan ‘ع م س’ (Ali
Bin Abi Thalib, Muhammad SAW, Salman Al-Farisi). Sayyidina Ali diumpamakan
makna, Nabi Muhammad diumpamakan nama dan Salman Al-Farisi diumpamakan pintu.
Semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, kemudian ketiganya
membentuk zat ketuhanan yang satu.[48]
Dari penjelasan
di atas, para ulama dan pakar sekte menjelaskan bahwa sesungguhnya ajaran
kelompok Nushairiyah tentang ketuhanan merupakan adopsi dari ajaran berbagai
agama dan sekte sesat yang berlainan, yaitu:
1.
Paganisme,
dalam wujud ajaran Nushairiyah yang mengagung-agungkan bintang, planet, dan
benda-benda langit.
2.
Nashrani,
dalam wujud ajaran Nushairiyah yang menyatakan unsure ketuhanan dalam trinitas:
Ali Bin Abi Thalib, Muhammad dan Salman Al-Farisi.
3.
Syi’ah
Itsna Asyariyah, dalam wujud ajaran Nushairiyah yang menyatakan para imam
mereka berturut-turut adalah Ali dan kesebelas anak-turunannya sebagaimana
keyakinan kelompok Syi’ah Itsna Asyariyah.
4.
Majusi
Mazdakisme, dalam wujud ajaran Nushairiyah yang mengajarkan menghalalkan semua
larangan agama (menghalalkan khamr, zina, homoseksual, dan lesbian), menyatakan
semua perintah agama telah gugur, dan memperingati hari raya Majusi, Nairuz.[49]
2.
Akidah
tentang hari akhir
Kelompok Nushairiyah
meyakini reinkernasi. Menurut akidah mereka, ketika seorang manusia telah mati
maka ruhnya akan menitis pada jasad yang lain sesuai dengan amalan yang ia
kerjakan semasa hidupnya. [50] Dengan demikian, mereka tidak meyakini pahala yang dibalas
dengan kenikmatan surga dan dosa yang dibalas dengan siksa di neraka. Mereka
tidak meyakini adanya kehidupan alam barzakh dan alam akhirat.[51]
Di sisi lain, mereka meyakini bahwa
ada alam ruh yang tinggi di langit, yang dihuni oleh makhluk-makhluk yang
tinggi lagi mulia, yaitu di bintang-bintang dan planet-planet. Mereka meyakini
bintang-bintang dan planet-planet tersebut memancarkan limpahan cahaya secara
terus-menerus pada ketujuh tingkatan langit sesuai tingkatannya masing-masing.
Mereka meyakini ruh seorang mukmin berinkernasi dalam wujud tingkatan-tingkatan
yang berbeda di kalangan penghuni alam ruh di ketujuh langit. Mukmin sejati,
menurut mereka, akan berinkernasi menjadi bintang yang cahayanya terang dan
kuat.[52]
Adapun ruh orang-orang kafir dan
jahat akan berinkernasi dalam wujud semua benda dan makhluk di alam raya ini
selain wujud manusia. Mereka akan berinkernasi menjadi batu, pohon, air, garam,
benda mati, hewan yang biasa disembelih dan dimakan maupun hewan yang tidak
biasa disembelih dan dimakan. Bila berinkernasi dalam wujud hewan yang biasa
dimakan maupun tidak, maka mereka akan mati, berinkernasi, mati, berinkernasi,
dan terus-menerus mengalami proses inkernasi sampai seribu kali kematian dan
seribu kali disembelih.[53]
Mereka meyakini, proses inkernasi
pada diri orang-orang jahat dan kafir akan terus berlangsung sampai munculnya
imam mereka yang terakhir, yaitu Muhammad bin Hasan Al-Askari yang merupakan
imam ghaib kedua belas dalam ajaran Syi’ah Itsna Asyariyah. Muhammad bin Hasan
Al-Askari akan mengembalikan mereka kepada wujud manusia, lalu membunuh mereka
hingga darah mereka menggenangi lembah-lembah.[54]
3.
Ibadah-ibadah
dan hari raya kelompok Nushairiyah
Sebagaimana halnya kelompok-kelompok
Bathiniyah yang lain, Nushairiyah meyakini bahwa perintah-perintah agama hanya
berlaku untuk kaum awam yang bodoh (kaum yang bukan dari aliran mereka). Adapun
para syaikh dan shahibul ‘ahd yang telah mencapai taraf ma’rifah terbebas dari
semua perintah dan larangan agama.
Syiah Nushairiyah tidak melaksanakan thaharah (kesucian) sebelum
melaksanakan ritual-ritual ibadah mereka,
seperti wudhu, tayamum, dan mandi wajib. Oleh karena itu mereka tidak
melaksanakan shalat lima waktu, shaum Ramadhan, zakat, haji dan umrah ke tanah
suci Makkah. Mereka menganggap haji ke baitullah di Makkah adalah bentuk kekafiran dan penyembahan berhala. Mereka juga tidak
membangun masjid atau mushalla sebagai tempat ibadah. Ritual ibadah mereka
diadakan di rumah-rumah atau tempat-tempat pertemuan khusus. Ritual ibadah
mereka adalah para syaikh dan shahibul ‘ahd membacakan kisah-kisah dari para
pendiri kelompok ini. Kemudian dilanjutkan dengan pesta khamr dan pesta seks.[55]
Mereka melaksanakan ibadah yang
mereka sebut shalat, namun tata cara dan jumlah raka’atnya berbeda dengan
shalat lima waktu kaum muslimin umumnya. Shalat mereka tidak disertai ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud, dan
duduk tasyahud. ‘Shalat’ mereka hanya berdiri disertai pembacaan kisah-kisah
riwayat dari para tokoh pendiri kelompok mereka. ‘Shalat’ Dhuhur mereka terdiri
dari 8 rakaat, ‘shalat’ Ashar mereka terdiri dari 4 rakaat, ‘shalat’ Magrib
mereka terdiri dari 5 raka’at, ‘shalat’ Isya’ mereka terdiri dari 4 raka’at,
dan ‘shalat’ Shubuh mereka terdiri dari 2 raka’at.
Adapun dalam hal perayaan hari
besar, kelompok Nushairiyah merayakan banyak hari raya, yang merupakan adopsi
dari berbagai agama, Islam, Yahudi, Nashrani, Majusi, dan Yunani kuno. Diantara
hari raya terpenting mereka adalah: [56]
a.
Hari
raya Ghadir atau Ghadir Khum, merupakan hari raya seluruh kelompok Syi’ah,
jatuh pada tanggal 18 Dzulhijah. Menurut mereka pada hari tersebut sepulang
dari haji Wada’, di daerah Ghadir (3 km dari Juhfah) yang ditumbuhi banyak
pohon Khum, Rasulullah SAW mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya,
sebagaimana persaudaraan nabi Musa dan Harun. Seluruh kelompok Syi’ah merayakan
malam Ghadir dan melaksanakan shalat dua raka’at pada keesokan harinya. Adapun
kelompok Nushairiyah meyakini bahwa pada hari itu, Nabi SAW membaiat Ali sebagai
khalifah sepeninggalnya.
b.
Hari
raya Idul Fithri, jatuh pada tanggal 1 Syawwal. Perbedaannya, kelompok
Nushairiyah tidak melaksanakan shaum Ramadhan sebulan penuh sebagaimana kaum
muslimin. Maka perayaan hari Idul Fithri ala Nushairiyah tentu saja memiliki
tatacara dan makna yang berbeda dengan perayaan kaum muslimin.
c.
Hari
raya Idul Adha. Kaum muslimin merayakannya pada tanggal 10 Dzulhijah, namun
kelompok Nushairiyah merayakannya pada tanggal 12 Dzulhijah. Lebih dari itu,
mereka tidak mengakui ibadah haji.
d.
Hari
raya ‘Asyura, jatuh pada tanggal 10 Muharram, dirayakan oleh seluruh kelompok
Syi’ah sebagai peringatan atas terbantainya Husain bin Ali di padang Karbala’.
Perbedaannya, kelompok Nushairiyah meyakini Husain belum terbunuh, hanya
bersembunyi sebagaimana halnya Isa bin Maryam bersembunyi.
e.
Hari
raya Ghadir Tsani, jatuh pada tanggal 9 Rabi’ul awwal. Mereka meyakini pada
hari tersebut Nabi SAW mengumpulkan keluarganya (Ali, Fathimah, Hasan, dan
Husain), menyelimuti mereka dengan selimutnya dan menantang mubahalah
(sumpah mati bagi pihak yang salah) rombongan utusan Kristen dari Najran.
Kelompok Nushairiyah memperingatinya dengan melaksanakan shalat khusus lima
waktu untuk kelima orang yang bermubahalah tersebut.
f.
Hari
raya Nairuz, jatuh pada tanggal 1 Rabi’ul Awwal, merupakan hari raya tahun baru
bangsa Majusi Persia.
g.
Hari
raya Mahrajan, jatuh pada awal musim gugur, merupakan hari raya bangsa Majusi
Persia.
h.
Hari
raya Pantekosta. Pantekosta (dari Bahasa Yunani kuno: pentekostē yang berarti
kelima-puluh) adalah hari raya Kristiani yang memperingati peristiwa
dicurahkannya Roh Kudus kepada para rasul di Yerusalem, lima puluh hari setelah
kebangkitan Yesus Kristus. Pada hari Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan sesuai
dengan yang dijanjikan Yesus sesudah kenaikannya ke surga. Menurut Alkitab,
murid-murid Yesus berhasil mempertobatkan tiga ribu jiwa pada hari tersebut dan
hal inilah yang disebut dengan gereja mula-mula. Sebelumnya Pentakosta adalah
hari raya besar orang yahudi yang kemudian diadopsi oleh gereja barat dan
gereja timur. Pada hari ini, orang-orang Yahudi datang dari segala penjuru
dunia ke Yerusalem untuk merayakan festival panen raya.[57]
4.
Komentar ulama Syiah
Istna Asy’ariyah atau ulama Ahli Sunnah terhadap Nushariyah
Pada bagian terakhir dari pembahasan ini, akan dipaparkan komentar
para ulama Syi’ah Istna Asy’ariyah dan ulama Ahlussunnah mengenai Syiah Nushairiyah yang tertulis dalam
kitab-kitab mereka, dengan tujuan sebagai pedoman dalam memandang jati diri
dari Syi’ah Nushariyah.
a.
Komentar
ulama Syiah Itsna Asy’ariyah
Sedikitnya ada dua puluhan
lebih dari ulama syiah Istna Asy’ariyah yang berkomentar. Namun akan dipaparkan
lima saja sebagai contoh untuk bisa dijadikan acuan dalam memandang Syiah
Nushairiyah,
Pertama, Syaik Muhammad Baqir bin Syaikh Muhammad Taqi Al-Majlisi lahir di
Isfahan Iran pada tahun 1037 H. dan wafat tahun 1110 H. menulis dalam kitabnya
Bihār al-Anwār
menyatakan:[58]
ثم أحيى ذلك رجل اسمه محمد بن نصير النميري
البصري زعم أن الله تعالى لم يظهر إلا في هذا العصر، وأنه علي وحده، فالشرذمة
النصيرية ينتمون إليه، وهم قوم إباحية تركوا العبادات والشرعيات، واستحلت المنهيات
والمحرمات، ومن مقالهم: أن اليهود على الحق ولسن منهم، وأن النصارى على الحق ولسنا
منهم.
النصيرية : طائفة من الغلاة السبأية وملخص
مقالتهم في الأئمة من أهل البيت عليهم السلام ، أنهم روح اللاهوت وقد نقل
الشهرستاني في الملل والنحل تفصيل مقالاتهم ولقد افترى و أخطأ في عد هذه الطائفة
من فرق الشيعة .
“Kemudian
datanglah seseorang bernama Muhammad bin Nushair al-Numairi al-Bashri yang
menghidupkan kembali ajaran-ajaran tersebut. Dia mengklaim bahwa Allah swt
tidak muncul kecuali di zaman
ini dan bahwa Allah adalah Ali itu sendiri. Maka sekelompok kecil dari sekte Nushairiyah
menisbatkan diri kepadanya. Mereka adalah kaum Ibahiyyah (menghalalkan zina),
meninggalkan ibadah dan ajaran-ajaran syari’at serta menghalalkan segala yang
dilarang dan diharamkan. Diantara perkataan mereka: orang-orang yahudi berada
diatas kebenaran tapi kita bukan bagian dari mereka, orang nasrani juga berada
diatas kebenaran tapi kita bukan bagian dari mereka.”
“Nushairiyah
tergolong sekte Saba’iyah ektrim. Intisari ajaran mereka tentang imam-imam
ahlul bait, bahwa mereka adalah ruh lahut (tuhan). al-Syahrastani dalam
kitabnya al-milal wa nihal menukil rincian ajaran-ajaran mereka. Tapi dia telah
keliru ketika menganggap sekte ini sebagai bagian dari mazhab Syi’ah.”
قال الطبرسي بعد ما ذكر أبا محمد الحسن الشريعى،
قال : كذلك كان محمد بن نصير النميرى، من أصحاب أبي محمد الحسن عليه السلام، فلمّا
توفّي ادّعى البابية لصاحب الزمان عليه السلام، ففضحه اللّه بما ظهر منه من
الالحاد والغلوّ والتناسخ، وكان يدّعي أنه رسول نبيّ أرسله علي بن محمد عليه
السلام، ويقول بالاباحة للمحارم.
“Demikian
juga Muhammad bin Nushair al-Numairi, ia adalah sahabat abu Muhammad al-Hasan as.
Setelah Hasan Askari meninggal ia mengklaim dirinya sebagai penghubung dengan
shahibuzzaman (al-Mahdi as), sehingga Allah mengungkap keburukan, penyimpangan
dan keekstrimannya serta keyakinannya tentang reingkarnasi. Dia juga mengklaim
dirinya sebagai rasul dan nabi yang diutus oleh Ali bin Muhammad as. dan ia menghalalkan
menzinahi mahram.”
Ketiga, Ibnu Thawus Al-Hillī dalam kitab al-Tharaif fī Ma’rifati Maẓāhib al-Ṭawā’if menyebutkan:[60]
قال عبد المحمود بن داود: ولقد جرى لعلي عليه
السلام ما يناسب هذا، وأبغضته الخوارج حتى بهتوه وهم أكرهوه، وأحبته النصيرية حتى
جعلوه إلها من دون الله .
“Abdul
Mahmud bin Dawud berkata: Telah terjadi pada ali yang semacam akan hal ini.
Orang-orang Khowarij membencinya bahkan membungkamnya dan memaksanya sementara
orang-orang Nushairiyah dan menjadikannya sebagai tuhan selain Allah”
Keempat, Syādzāni bin Jibra’il Al-Qumi dalam
kitab Ar-Raudhatu fi Fadhail Amiril Mu’minin
menyatakan:[61]
النصيرية: طائفة من الغلاة السبأية ، وأنهم يدعون
أن الأئمة من أهل البيت روح اللاهوت ” وقد نقل الشهرستاني في الملل والنحل وابن
حزم وغيرهما تفصيل مقالاتهم، ولقد افترى الشهرستاني وابن حزم حيث عدو هذه الطائفة
من فرق الشيعة .
“Nushairiyah adalah sekte sabaiyyah ekstrim
mereka mengklaim bahwa para imam ahlul bait ruh tuhan, Syahrastani dalam Milal wa
Nihal, Ibnu Hazam dan beberapa yang lainnya telah menukil rincian ajaran
mereka. Tetapi Syahrastani dan ibnu hazam telah berdusta dan salah karena
menganggap sekte ini karena bagian dari syi’ah.”
Kelima, Ali Al-Khaqani (w. 1334 H.) dalam
kitab Rijal Al-Khaqani, Qum al-Muqaddas menyatakan,[62]
النصيرية
هم من الغلاة أصحاب محمد بن نصير النميري ( لعنه الله ) وكان يقول : الرب هو علي
بن محمد العسكري وهو نبي من قبله فأباح المحارم من النساء وأحل نكاح الرجال.
“Nushairiyah adalah sekte ekstrim pengikut Muhammad bin Nushair
al-Numairi semoga dilaknat Allah. Ia berkata: “tuhan
itu adalah Ali bin Muhammad al-Askari.” Sementara dia adalah rasul darinya.
Lalu ia menghalalkan wanita-wanita mahram, menghalalkan menikahi laki-laki.”
b.
Komentar
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah
Pertama, Syaikh Al-Islam
Ibnu Taimiah dalam kitab An-Nushairiyah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiah
menyatakan:[63]
قال شيخ الإسلام
ابن تيمية المتوفى سنة 728هـ: الحمد الله رب العالمين هؤلاء القوم المسمون
بالنصيرية هم وسائر أصناف القرامطة الباطنية أكفر من اليهود والنصارى، بل وأكفر من
كثير من المشركين، وضررهم على أمة محمد صلى الله عليه وسلم أعظم من ضرر الكفار
المحاربين مثل كفار التتار والفرنج وغيرهم، فإن هؤلاء
يتظاهرون عند جهال المسلمين بالتشيع ومولاة أهل البيت، وهم في حقيقة لا يؤمنون
بالله ولا برسوله ولا بكتابه ولا بأمر ولا نهي ولا ثواب ولا عقاب ولا جنة ولا نار.
“Segala puji bagi Allah
tuhan semesta alam, sekte yang bernama nushairiyah dan juga sekte-sekte
qaramithah bathiniyah lainnya lebih kafir dari yahudi dan nashrani, bahkan
lebih kafir dari kebanyakan dari orang-orang musyrik. Bahaya mereka terhadap
ummat Muhammad saw. Lebih besar dari pada bahaya orang-orang kafir yang
memerangi mereka seperti bangsa tatar dan franj (orang-orang eropa) dan
lain-lain. Karena mereka (nushairiyah) dihadapan orang-orang muslim yang jahil
tampil seolah-olah mencintai dan membela ahlul bait, padahal sejatinya mereka
tidak beriman kepada Allah, rasulnya dan kitabnya dan tidak percaya kepada
perintah-perintah dan larangan Allah, pahala dan siksannya serta surga dan
neraka.”
Kedua, Ibnu Katsir
dalam kitab al-Istigotsah menyatakan[64]
قال الحافظ ابن
كثير المتوفى سنة 774هـ: أما النصيرية فهم من الغلاة الذين يعتقدون إلهية علي و
الغلاة أكفر من اليهود و النصارى.
“Adapun Nushairiyah mereka
adalah sekte ekstrim yang meyakini ketuhanan Ali,mereka
lebih kafir daripada yahudi dan nashrani”
Ketiga, Ibnul Qoyyim
al-Jauzi dalam kitab Igatsat Luhfan min Mashayid Asy-Syaitan menyatakan:[65]
الخرمية: أصحاب
بابك الخرمى. وهم شر طوائفهم، لا يقرون بخالق ، ولا معاد، ولا نبوة، ولا حلال، ولا
حرام. وعلى مذهبهم : طوائف القرامطة، والإسماعيلية، والنصيرية، والبشكية،
والدرزية، والحاكمية، وسائر العبيدية، وهم من أكفر الكفار
“Al-kharmiyah
adalah pengikut babak al-Kharmi. Mereka adalah
seburuk-buruk sekte diantara sekte
batiniah. Mereka tidak meyakini adanya pencipta, hari akhirat,
kenabian, dan tidak meyakini adanya halal haram. Diatas ajaran merekalah sekte-sekte
Qaramithah, Isma’iliyah, Nushairiyah, Basykiyah, Duruziyah, Hakimiyah, dan semua
sekte-sekte abidiyah. Dan Mereka adalah sekafir-kafir orang kafir.”
عتاة الرَّفض
اللذين يقولون : علي هو الله فمن وصل إلى هذا فهو كافرٌ لَعِينٌ من إخوان النصارى
وهذه هي نحلة النُّصَيْرِية
“Termasuk diantara kesombongan kaum Rafidhah,
mereka mengatakan, ‘Ali adalah Allah’. Barang siapa berkeyakinan
sampai seperti ini maka dia kafir, terlaknat teman-temannya
orang Nasrani. Dan
itulah dia agama Nushairiyah”
C. PENUTUP
Dari pemaparan diatas, dilihat dari sejarah
Syi’ah Nushairiyah merupakan turunan dari syiah Istna ‘Asy’ariyah. Namun karena
perbedaan faham tentang kedatangan imam mereka yang terakhir, Syi’ah Nushairiyah akhirnya memisahkan diri. Walaupun demikian, syiah Nushairiyah masih berpegang pada sebagian
ajaran yang dianut oleh syiah Istna Asy’ariyah.
Perbedaan antara syi’ah Nushairiyah dengan syi’ah Istna ‘Asy’ariyah
sebenarnya bukan hanya pada hal furu’iyah (cabang) ajarannya saja, tapi sudah
masuk ke ranah akidah (keyakinan) sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam tubuh
syi’ah saja secara umum terjadi perbedaan yang begitu tajam dan serius, apalagi kalau dibandingkan dengan faham yang dianut Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah), tentu akan
semakin jauh perbedaannya terutama dalam hal aqidah dan ajarannya. Oleh karena itu, sebagai penegasan
akan permasalahan ini bahwa Sunni tidak sama dengan Syi’ah secara umum dan (sangat)
tidak sama dengan Syi’ah Nushairiyah secara khusus.