Kamis, 22 Oktober 2015

Haram Buat Tuan Tapi Halal Buat Kami

Masjid Muqoddasah
Masjid Muqoddasah
Seorang ulama terkenal di Makkah bernama Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al Marwazi menceritakan satu kisah perjalanan hidupnya yang sangat membekas pada dirinya.
Suatu ketika, setelah selesai menjalani salah satu ritual haji, ia beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit. Ia mendengar percakapan mereka,
“Berapa banyak yang datang tahun ini?” Tanya malaikat kepada malaikat lainnya.
“Tujuh ratus ribu.” Jawab malaikat lainnya.
“Berapa banyak dari mereka yang ibadah hajinya diterima?”
“Tidak satupun.”
Percakapan ini membuat Abdullah bin Mubarak gemetar.
“Apa?” ia menangis dalam mimpinya.
“Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?”
Sambil gemetar, ia melanjutkan mendengar cerita kedua malaikat itu.
“Namun ada seseorang, yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Berkat dia seluruh haji mereka diterima oleh Allah.”
“Kok bisa.”
“Itu Kehendak Allah.”
“Siapa orang tersebut?”
“Sa’id bin Muhafah, tukang sol sepatu di kota Damsyiq (Damaskus sekarang)”
Mendengar ucapan itu, ulama itu langsung terbangun. Sepulang haji, ia tidak langsung pulang kerumah, tapi langsung menuju kota Damaskus, Siria.
***
Sampai di Dameskus Abdullah bin Mubarak langsung mencari tukang sol sepatu yang disebut Malaikat dalam mimpinya.
Hampir semua tukang sol sepatu ditanya, apa memang ada tukang sol sepatu yang namannya Sa’id bin Muhafah.
“Ada. Dia tinggal ditepi kota” Jawab salah seorang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya.
Sesampai disana ulama itu menemukan tukang sepatu yang berpakaian lusuh.
“Benarkah anda bernama Sa’id bin Muhafah?” tanya Ulama itu.
“Betul. Tuan siapa?”
“Saya Abdullah bin Mubarak”
Said pun terharu karena dikunjungi oleh seorang ulama terkenal yang tidak pernah ia sangka akan mengunjunginya.
"Bapak adalah ulama terkenal, ada apa mendatangi saya?”
Sejenak Ulama itu kebingungan, dari mana ia memulai pertanyaannya. Akhirnya iapun menceritakan perihal mimpinya.
“Saya ingin tahu, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur?” Tanya Abdullah bin Mubarak setelah menceritakan mimpinya.
“Wah.. saya sendiri juga tidak tahu!”
“Coba ceritakan bagaimana kehidupan anda selama ini"
Maka Sa’id bin Muhafah bercerita.
“Setiap tahun, setiap musim haji, saya selalu mendengar :
Labbaika Allahumma labbaika.
Labbaika la syarika laka labbaika.
Innal hamda wanni’mata laka wal mulka.
laa syarika laka.
Ya Allah, aku datang karena panggilanMu.
Tiada sekutu bagiMu.
Segala ni’mat dan puji adalah kepunyanMu dan kekuasaanMu.
Tiada sekutu bagiMu.
“Setiap kali aku mendengar itu, aku selalu menangis.”
Ya allah aku rindu Mekah
Ya Allah aku rindu melihat kabah
Ijinkan aku datang
ijinkan aku datang ya Allah
“Oleh karena itu, sejak puluhan tahun yang lalu setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya sebagai tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan. Akhirnya pada tahun ini, saya punya 350 dirham, cukup untuk saya berhaji.”
“Saya sudah siap berhaji”
“Tapi anda batal berangkat haji.” Tanya Abdullah bin Mubarak.
“Benar”
“Trus apa yang terjadi sehingga tidak jadi berangkat?”
“Istri saya hamil dan sering ngidam. Waktu saya hendak berangkat saat itu dia ngidam berat.”
“Suami ku, engkau mencium bau masakan yang nikmat ini?”
“Ya sayang.”
“Cobalah kau cari, siapa yang masak sehingga baunya nikmat begini. Mintalah sedikit untukku.”
"Sayapun mencari sumber bau masakan itu. Ternyata berasal dari rumah yang hampir runtuh. Disitu ada seorang janda dan enam anaknya. Saya bilang padanya bahwa istri saya ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit. Janda itu diam saja memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya. Akhirnya dengan perlahan ia mengatakan,
“Tidak boleh tuan.”
“Dijual berapapun akan saya beli.”
“Makanan itu tidak dijual, tuan.” Katanya sambil berlinang air mata.
Akhirnya saya tanya, kenapa?
Sambil menangis, janda itu berkata “Daging ini halal untuk kami dan haram untuk tuan.” katanya.
Dalam hati saya: Bagaimana ada makanan yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya,
padahal kita sama-sama muslim? Karena itu saya mendesaknya lagi “Kenapa?”
Dengan sungkan janda itupun bercerita, 
“Sudah beberapa hari ini kami tidak makan. Dirumah tidak ada makanan. Hari ini kami melihat keledai mati, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk dimasak. Bagi kami daging ini adalah halal, karena andai kami tak memakannya kami akan mati kelaparan. Namun bagi Tuan, daging ini haram".
Mendengar ucapan tersebut spontan saya menangis, lalu saya langsung pulang.
Saya ceritakan kejadian itu pada istriku, diapun menangis. Kami akhirnya memasak makanan dan mendatangi rumah janda itu.
“Ini masakan untuk mu.”
"Uang peruntukan Haji sebesar 350 dirham pun saya berikan pada mereka semuanya.” 
"Pakailah uang ini untuk mu sekeluarga. Gunakan untuk usaha, agar engkau tidak kelaparan lagi”
Ya Allah disinilah Hajiku
Ya Allah disinilah Makahku.
Mendengar cerita tersebut Abdullah bin Mubarak tak bisa menahan air matanya. Beliau terharu dengan keikhlasan dan pengorbanan yang diberikan tukang sol sepatu tersebut kepada saudaranya sesama muslim.


Dalam kitab Irsyadul Ibad Ila Sabiila Rosyad. (Dikutip dari laman Facebook)

Kamis, 08 Oktober 2015

Kesetiaan Pengorbanan Sang Khadijah ra.

Istri Solehah
Istri Solehah
Suatu ketika Rasulullah SAW. pulang dalam keadaan sangat letih dari medan dakwah. Ketika hendak masuk rumah, Khadijah biasanya menyambut beliau berdiri di depan pintu. Ketika Khadijah hendak berdiri menyambut Suami tercinta, Rasulullah berkata: “Wahai Khadijah tetaplah di tempatmu.” Saat itu Khadijah sedang menyusui anaknya Fatimah yang masih bayi. Rasulullah faham dengan kesetiaan Khadijah, Rasulullah takjub dengan pengorbanan Khadijah. Meskipun dalam keadaan lelah menjaga rumah tangganya. Mekipun dalam keadaan letih dalam memelihara anaknya, Khadijah masih sempat menunjukkan kesetiaannya kepada sang Suami walau dengan hal yang sederhana. Bahkan seluruh harta bendanya diberikan kepada Nabi demi perjuangan Islam dan bahkan lebih dari itu, jiwa dan raganya diperuntukkan untuk Islam.
Tidak jarang Khadijah menahan lapar sambil menyusui anaknya Fatimah ra. Sehingga yang keluar bukan air susu lagi tapi darah yang keluar yang masuk ke dalam mulut Fatimah. Melihat Khadijah letih menyusui anaknya, Rasulullah mengambil Fatimah dan diletakkan di tempat tidurnya. Gantilah Rasulullah berbaring dipangkuan sang Istri. Karena Rasulullah begitu lelah dan letih dari mendakwahkan islam kepada umatnya yang menolak seruannya, beliaupun tertidur dipangkuan sang istri. Katika itulah khadijah dengan belaian kasih sayang membelai rambut Beliau. Tak terasa air mata Khadijah al-Kubra menetes mengenai pipi Rasulullah SAW. Nabipun terjaga “Wahai Khadijah kenapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad? Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan, tetapi hari ini engkau telah dihina orang, semua orang telah menjauh darimu, seluruh harta bendamu habis. Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad?” Khadijah al-Kubra berkata, “Wahai suamiku, wahai Nabi Allah, bukan itu yang aku tangiskan. Dulu aku memiliki kemuliaan, kemuliaan itu aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki kebangsawanan, kebangsawanan itupun aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan, seluruh harta kekayaan itu aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Wahai Rasulullah, sekarang ini aku tidak memiliki apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini.” “Wahai Rasulullah, sandainya aku telah mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, kemudian engkau hendak menyebrangi sebuah lautan, ..engkau hendak menyebrangi sebuah sungai dan engkau tidak menemukan satu perahu pun ataupun jambatan, maka engkau gali lubang kuburku, engkau gali kuburku, kemudian ambillah tulang belulangku, engkau jadikan jembatan sebagai jalan menyeberangi sungai itu untuk menemui umatmu. Ingatkan mereka akan kebesaran Allah. Ingatkan mereka perkara yang haq. Ajarkan mereka syari’at islam wahai Rasulullah.”

Mendengar penjelasan itu, Rasulullah menangis. Betapa besar perjuangan dan pengorbanan Khadijah untuk Allah dan Rasul-Nya dalam memperjuangkan agama islam. Sampai-sampai dalam keadaan matipun, ia masih ingin berjuang untuk islam. Sehingga wajar Rasulullah sering menyebut-nyebut istrinya yang satu ini walaupun sudah lama meninggal, sehingga menjadikan istri-istri beliau yang lain cemburu kepadanya, Khadijah Radiyallahu‘anha..