Jumat, 19 Desember 2014

Pandangan Theodor Noldeke Dalam Studi Al-Qur'an



Theodor Noldeke
Theodor Noldeke
A.  PENDAHULUAN
Keberhasilan para oreintalis dalam mengkritik dan medekonstruksi Bible menjadi primadona di Barat sebagai sebuah prestasi akademis yang diakui. Semua kalangan cendekiawan, scientis, dan filosof berbondong-bondong  menyumbangkan karyanya dalam bidang ini. Akhirnya mereka bertemu dengan Islam sebagai salah satu agama terbesar yang dianut sebagian besar manusia. Dianggap sebagai tantangan baru, mereka mulai untuk mencoba melakukan penelitian dan pengkajian terhadap al Qur’an yang dianggap sebagai dasar hukum dan teologi Islam. Dengan cara yang sama mereka pakai dalam meneliti Bible mereka mengkritisi al Qur’an dari berbagai macam aspek. Diantaranya dari aspek tafsir, pengambilan hukum dan juga orisinalitas teks al Qur’an. Khusus dari aspek yang terakhir disebutkan muncul tokoh-tokoh seperti Abraham Geiger, Theodor Noldeke, Arthur Jefferey, W. Montgomery Watt. Dalam pembahasan yang singkat ini, penulis ingin membahas tentang pemikiran Theodor Noldeke dalam studi al Qur’an.

B.  PEMBAHASAN
1.    Biografi Theodor Noldeke
Theodore Noldeke adalah seorang tokoh orientalis Jerman yang mempunyai reputasi besar dalam studi al Qur’an. Ia lahir pada tanggal 2 Maret 1837 di kota Hamburg, Jerman. Pendidikan tingginya ia tempuh di Universitas Gottingen dengan bekal penguasaan bahasa Latin dan Bahasa Semit. Ia belajar bahasa Semit kepada salah seorang sahabat ayahnya yang bernama H. Ewald dengan materi bahasa Arab, Persia beserta sastranya.
Studinya terhadap bahasa-bahasa semit ia lanjutkan dengan mempelajari bahasa Suryani kepada H. Ewald, dan bahasa Arami, yang ia gunakan dalam mengkaji kitab-kitab suci, kepada Bartheau. Kemudian ia juga mempelajari bahasa Sansekerta kepada Benfay dan ia teruskan saat menjadi Profesor di Universitas Kiel pada tahun 1864-1872.[1]
Prestasi akademik pertamanya ia dapatkan sewaktu meraih sarjana tingkat pertamanya dengan skripsinya yang ia beri judul “Tarikh al Qur’an”. Dan dengan karyanya ini dia mendapatkan penghargaan atas studi Qur’an dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1858 dari otoritas akademik Prancis dan memberikannya hadiah sebesar 1.333 Franc Prancis atas keberhasilannya dalam penelitian sejarah al Qur’an. Dua tahun setelah itu, tahun 1860, Noldeke dengan dibantu oleh muridnya Schwally, menerbitkan karangannya yang ditulis dalam bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman, dengan beberapa tambahan yang sangat luas, yang diberi judul “Geschichte des Qorans”.[2]
Ia mempunyai motivasi tinggi terhadap studi al Qur’an. Hal ini terbukti dengan ia mengikuti perlombaan dalam penelitian mengenai sejarah al Qur’an. Ia berangkat dalam penelitiannya dengan asumsi bahwa al Qur’an bukanlah kitab suci yang orisinal bagi agama Islam. Al Qur’an hanyalah sebuah kitab hasil penduplikatan Muhammad dari kitab-kitab terdahulu dan menuduh Muhammad hanyalah seorang impostor dan bukan seorang nabi, seperti yang selama ini diyakini umat muslim.[3]
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa motivasi yang digunakan Noldeke dalam penelitiaanya adalah dengan menggunakan pendekatan kritik, dengan maksud ingin menyatakan bahwa semua kitab suci yang ada adalah palsu, sedangkan yang benar adalah kitab suci agamanya sendiri yaitu Bible. Hal ini tidak mengherankan karena semua kalangan orientalis mengkaji Islam dengan dasar kebencian dan dendam, sehingga itu yang menjadi landasan berfikir mereka dalam melakukan serangan terhadap benteng keyakinan umat Islam yang disponsori oleh Gereja dan Universitas Barat.[4]
2.    Pemikirannya tentang al Qur’an
Al Qur’an merupakan kitab suci agama Islam yang merupakan dasar teologis dan hukum dalam Islam. Bagi umat muslim, al Qur’an diyakini orisinalitasnya yang merupakan wahyu dari Allah SWT. Maka dari itu al Qur’an juga diyakini tidak mengandung keraguan (S. Al Baqarah: 2) dan keasliannya terjamin hingga hari akhir. Al Qur’an juga menjadi pemersatu umat Islam, meski mempunyai berbagai macam madzhab dan aliran, umat Islam hanya meyakini satu al Qur’an.
Theodor Noldeke, ingin membuktikan bahwa apa yang diyakini umat Islam selama ini adalah salah. Ia meyakini bahwa al Qur’an tidak orisinal. Muhammad bukanlah seorang yang ummi, melainkan ia sangat akrab dengan seni menulis yang saat itu dianggap sebagai derajat orang yang berilmu,[5] maka dari itu, Muhammad mampu untuk menduplikasi agama-agama terdahulu. Ia menyatakan bahwa ajaran yang ia bawa bukanlah merupakan produk dirinya sendiri, melainkan adalah produk yang ia ambil dari Kristen dan Yahudi. “It would be superfluous to explain here that not only most of the histories of the prophets in the Koran but also many of the dogmas and laws are of Jewish origin. In comparison, the influence of the Gospels on the Koran is much slighter.[6]
             Ia berasumsi bahwa pada saat masa kenabian Muhammad, kaum Yahudi sudah banyak yang tinggal di jazirah Arab, khususnya di Yatsrib (Madinah). Mereka mempunyai hubungan baik dengan Makkah dan sering mengunjunginya, dan bahkan dalam teologi Kristen pun banyak sekali disusupi ajaran-ajaran dari Yahudi.[7] Maka menurutnya, tidak mustahil kalau dalam Islam pun banyak sekali ajaran yang mengadopsi dari Yahudi.
          Dengan ini Noldeke menyimpulkan bahwa Islam benar-benar merupakan agama yang mengikuti jejak ajaran Kristen. Dan siapa yang tidak percaya dengan agama ini disebut dengan Shabiin yang merupakan persamaan dengan sekte-sekte yang ada pada Kristen. Inilah yang menyebabkan penerimaan dan penyambutan Raja Abysania ketika umat Islam hijrah ke sana.  
          Noldeke menyatakan bahwa pada masa pra-Islam, para misionaris dari Kristen dan Yahudi salalu membawa kitab-kitab suci mereka dan menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah di mana mereka menjalankan misinya. Termasuk ke dalam bahasa Arab. Para rabi dan pendeta Kristen dan Yahudi yang menerjemahkan ke dalam bahasa Arab.[8] Dan pada waktu itu seni menulis sudah menjadi hal yang umum dilakukan masyarakat Arab dalam mencatat hal-hal yang penting bagi mereka, seperti perjanjian dan lainnya. Muhammad pun mempelajari ajaran Yahudi dan Kristen dari pendeta atau rabi-rabi Yahudi yang sudah menerjemahkan ajaran mereka dalam bahasa Arab, karena menurut Noldeke, Muhammad tidak menguasai bahasa selain Arab. Ini yang menjadi masalah Muhammad dalam memahami kitab-kitab lainnya ke dalam al Qur’an. Misalnya pada kalimat “لايمسه إلا المطهرون”, menurut Noldeke, Muhammad salah dalam menuliskan kalimat tersebut. Padahal kalimat yang asli tidak seperti yang dimaksud dalam kalimat ini, dan ini bukan berarti bahwa al Qur’an terlarang bagi orang selain Islam untuk menggunakannya.[9]
 Noldeke menyimpulkan, bahwa dalam penulisan al Qur’an, Muhammad memiliki landasan dalam mengimpor dari kitab Yahudi dan Kristen, pertama, ia tidak secara literal dalam melihat kitab-kitab tersebut, tapi ia menuliskannya menjadi al Qur’an menurut pemahamannya yang terbatas kemudian mengarangnya, kedua, ia tidak mempunyai kepentingan untuk membawa ideology apapun ke dalam al Qur’an karena ia bermaksud untuk menciptakan ideologinya sendiri. Contoh yang lain adalah dengan adanya ka’bah dan seruan untuk hajji. Di mengatakan bahwa di dalamnya terdapat unsur-unsur kepercayaan pagan yang merupakan kepercayaan bangsa Arab ketika itu yang mempunyai sumber orisinal dari Ibrahim. Muhammad mengadopsi ini, namum merubahnya secara total dan menyesuaikannya dengan cerita-cerita Yahudi sebanyak yang ia ingat.[10]
Dalam bukunya yang lain, yaitu yang tercantum dalam Encyclopedia Britannica (1891), Noldeke dengan lantang menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam al Qur’an ini disebabkan karena kebodohan Muhammad mengenai sejarah awal dan pemahamannya tentang agama Yahudi. Dalam buku tersebut Noldeke mengatakan: “(bahkan) orang Yahudi paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Hamam (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al Masih...(dan) dalam kebodohannya tentang sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang karena hujan, dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil”.[11]
Mengenai ke-rasulan Nabi Muhammad, ia menyatakan bahwa, pernyataan Muhammad adalah utusan Tuhan dan apa yang darinya adalah dari Tuhan, itu hanyalah berupa sebuah ide untuk menarik simpati masyarakat arab ketika itu, karena kalau tidak, ia akan ditolak oleh masyarakat, karena menurutnya, ide tentang pembaharuan adalah sangat diperlukan untuk legitimasi akan sebuah kenabian, karena kalau tidak, maka ia akan ditolak dan tidak akan ada yang mempercayainya.[12] Lanjutnya, ia menyatakan bahwa dalam sejarah, Muhammad adalah seorang yang berpengarai halus, jarang tampil di muka publik, maka bagamana mungkin seorang yang seperti itu mampu untuk bertahan dalam menghadapi cacian dan tantangan dari musuh-musuhnya.[13] Maka dari itu hal ini meragukan.
Berhubungan dengan ini, pada kenyataannya, menurut Noldeke, Muhammad meyakini bahwa apa yang berasal dari instingnya adalah berasal dari sumber wahyu. Hal ini sama dengan apa yang terjadi pada nabi-nabi Israel yang mengatakan bahwa mereka juga mendapatkan wahyu dari Yahweh. Lanjutnya, Muhammad hanya mengikuti naluri naifnya dalam mengajak manusia kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan, akan tetapi ia tidak mengetahui hakikat kebaikan dan keburukan, maka dalam ajarannya ia menyampaikan bahwa semua yang tidak sesuai dengan apa yang darinya akan disebut tercela.[14] Inilah yang Noldeke sebut dengan tipe anugerah kerasulan Muhammad.
pemikiran yang disampaikan Noldeke ini sebenarnya hanyalah sebuah pengembangan dari pemikir sebelumnya yaitu Abraham Geiger, yang mengatakan bahwa al Qur’an terpengaruh oleh agama Yahudi, pada hal, pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, yang kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral, dan ketiga,tentang pandangan terhadap kehidupan.[15]
Dari pemaparan diatas, bisa disimpulkan bahwa Noldeke mengukur orisinalitas al Qur’an dengan Bible. Dalam penelitiannya, Noldeke menggunakan pendekatan filologi, kemudian pendekatan kritik Historis dan pendekatan ontologi.

3.    Kritik
Seperti yang kita lihat dalam pemaparan mengenai tuduhan Theodor Noldeke terhadapa al Qur’an dan Kenabian Muhammad SAW, kita mendapatkan berbagai macam fitnah yang seakan mengada-ada. Perlu ditekankan di sini bahwa, dalam argumentasinya, Noldeke terlihat mengukur segala sesuatunya dengan ukuran Bible dan teologi Kristen Yahudi[16]. Hal ini terlihat dalam tuduhan umumnya bahwa al Qur’an merupakan produk duplikasi Taurat dan Injil.
Permasalah pertama yaitu, bahwa dalam al Qur’an terdapat banyak ajaran yaang juga terdapat dalam teologi Kristen dan yahudi, masalah ini didaapati dalam kalimat "لاإله إلا الله". Dalam Islam, kalimat ini merupakan dasar ajaran tauhid yang tidak bisa ditawar dan hukumnya adalah mutlak untuk diyakini. Kalimat ini dalam teologi Kristen Yahudi, sering ditujukan pada pernyataan dalam Samuel 32/22 dan Mazmur Daud 18/32. Lalu tuduhannya adalah Muhammad mengambilnya dan menjadikannya bagian khusus dalam Islam.[17] Dalam kedua kitab tersebut tertulis perkataan : "لأن من إله غير إلهنا. ومن هو صخرة غير إلهنا",  bila diperhatikan, kata “Ilaahuna” menunjukkan arti kekhususan yang diakui oleh dalam teologi Yahudi. Akan tetapi dalam sejarahnya, dikatakan bahwa orang-orang Yahudi selalu menolaknya. Selain itu, orang-orang Yahudi setelah Musa a.s tidak pernah mengakui Tauhid sebagai pokok dalam agama mereka dan kemudian menjadikan berhala sebagai sesembahan mereka menggantikan tauhid. Dengan ini berarti klaim atau tuduhan yang diberikan Noldeke tidak benar, karena dalam teologi Yahudi yang sampai pada masa nabi Muhammad tidak mengakui adanya tauhid, padahal tauhid sendiri menjadi pokok ajaran Islam.[18]
Tuduhan yang kedua adalah tentang nabi Muhammad yang sebenarnya tidak umi (tidak bisa membaca dan menulis). Noldeke menyatakan dalam tuduhannya bahwa pada masa itu seni menulis sudah menjadi hal yang banyak di masyarakat Arab. Mereka menggunakannya dalam menuliskan hal-hal yang penting dalam sosial mereka. Perlu diketahui, bahwa nabi Muhammad belum mendapatkan wahyu kecuali saat umurnya mencapai 40 tahun. Dan selama itu beliau tinggal di Makkah, yang saat itu merupakan sebuah desa terpencil, dan penduduknya sebagian besar buta huruf, dan sangat jarang sekali ada yang membaca sebuah buku atau menulis tulisan.[19] Sedangkan kemampuan menulis hanya terdapat pada beberapa pembesar dan penguasa Makkah waktu itu.[20] Kemudian fakta lainnya adalah, bahwa dakwah Islam mempunyai tujuan untuk merubah system masyarakat dalam hal kaitannya dengan aqidah, pemikiran, dan kemasyarakatan. Maka dari itu yang menjadi musuh dakwah Muhammad adalah mereka yang termasuk para pembesar dan penguasa, sedangkan pengikutnya adalah para masyarakat biasa. Maka, jika Muhammad bisa membaca dan menulis, pastilah para pengikutnya adalah para pembesar-pembesar tersebut, karena Muhammad dianggap sebagai orang yang sederajat dengan mereka. Dengan fakta ini, bisa dikatakan pula, apabila al Qur’an merupakan karangan Muhammad, maka akan banyak sekali muncul kitab-kitab semisal pada masa itu, karena asumsinya bahwa al Qur’an merupakan buatan manusia yang sama dengan yang lain, dan pada waktu itu sya’ir menjadi tren yang digemari banyak kalangan.
Selanjutnya, penyataan bahwa adanya aktivitas penerjemahan kitab-kitab suci terdahulu tidak ada faktanya dalam sejarah. Belum ada penerjemahan buku apapun pada masa nabi, dengan bukti bahwa masyarakat makkah ketika itu belum banyak yang mampu dalam membaca dan menulis, seperti yang telah disampaikan pada paragraph di atas. Kemudian dalam al Qur’an pun disebutkan bahwa nabi Muhammad belum sama sekali membaca buku apapun, juga karena ketidak mampuannya dalam membaca.[21] Dan dalam sejarahnya, penerjemahan kitab di jazirah Arab baru muncul pada masa al Ma’muun, yaitu setelah dua abad setelah zaman Rasulullah.
Kemudian tentang haji, Noldeke salah dalam memahami ibadah haji dengan mengindetikkan pada kepercayaan pagan dengan mengatakan bahwa dalam haji ada unsur penyembahan berhala. Ia tidak memahami bahwa haji merupakan salah satu dari rukun Islam, dan hukumnya adalah fardu ‘ain, yaitu suatu kewajiban yang diperuntukkan bagi yang mampu. Bagaimana mungkin bila diartikan sebagai sebuah wujud penyembahan berhala seperti yang dituduhkan Noldeke mengandung hukum yang tidak mengikat setiap pengikutnya. Kemudian, esensi dalam haji ada 2 hal. Pertama adalah bahwa Allah akan mengampuni dosa bagi yang menjalankannya, tapi bukan berarti bagi yang tidak mampu menjalankannya tidak diampuni dosanya. Yang kedua, bahwa ibadah haji adalah moment di mana semua umat muslim berkumpul di satu tempat di bawah paying persaudaraan[22]. Jadi bukan ritual penyembahan ka’bah seperti yang dituduhkan Noldeke.
Noldeke dalam tuduhannya bahwa pernyataan Muhammad sebagi utusan Tuhan dan siapa yang tidak mempercayainya akan masuk neraka, mempunya maksud bahwa itu hanyalah ide Muhammad dengan menyatakan bahwa ia adalah nabi paling utama dibanding nabi yang lain. Perlu diingat bahwa dalam Islam tidak ada ajaran yang menyatakan untuk mengutamakan satu nabi atas nabi yang lain. Setiap nabi dan rasul dari Adam a.s hingga nabi Muhammad SAW mempunyai misi yang sama, yaitu tauhid kepada Allah SWT. Adapun mu’jizat yang terdapat pada setiap nabi merupakan dalil atau bukti untuk menjadi hujjah bagi setiap orang yang menentang risalah nabi tersebut, karena merka tidak akan beriman sebelum melihat mu’jizat dari nabi pada setiap kaum.
Adapun ayat yang terdapat pernyataan: [23]"قل إني أمرت أن أكون من أسلم", ini mempunyai tiga kandungan makna. Yang pertama, adalah orang yang pertama kali berserah diri kepad Allah SWT. Yang kedua, orang yang pertama kali ikhlas beribadah kepad Allah SWT. Dan yang ketiga, orang yang pertama kali memeluk Islam pada umat tersebut. Hal ini wajar terjadi, sebagai orang yang menyeru kepada Islam, nabi Muhammad pastilah menjadi orang yang pertama kali dalam memeluk Islam dan berserah diri kepada Allah sementara kaumnya masih tunduk dalam peribadatan kepada berhala.[24] Akan tetapi sangat jauh sekali bila diartikan sebagai sebuah bentuk ungkapan dalam pernyataan akan keutamaan seseorang atas seseorang apalagi pernyataan tersebut ditujukan pada para nabi-nabi dan rasul, karena pada surat al A’raf juga terdapat ungkapan yang sama yang disampaikan nabi Musa a.s. dan yang mempunyai hak dalam menentukan siapa yang paling utama diantara manusia adalah Allah SWT.
Kemudian pendapat Noldoke yang menyatakan bahwa Muhammad salah dalam Hamam adalah menteri Fir’aun tidaklah benar. Disamping itu, Noldoke juga tidak mampu dalam membuktikan jika Hamam memang bukan menteri Fir’aun. Begitu juga kesalahan Noldeke ketika menuduh al Qur’an salah dalam menyatakan Mirian (Maryam) adalah saudara Musa. Al Qur’an merujuk Maryam (Ibunya Nabi Isa a.s) sebagai saudara Harun (ukhti Harun).[25] Perjanjian Baru menyebutkan bahwa Elisabeth adalah keluarga Maria (Maryam). Elisabeth adalah “saudara Harun”. Jadi Maryam atau Elisabeth adalah “saudara perempuan Harun” atau anak perempuan Imran (ayah Harun).[26]
Selanjutnya, perihal keadaan geografis tanah Mesir yang subur, Noldeke tidak mampu untuk memberikan bukti bahwasanya pada masa Nabi Yusuf a.s hujan tidak pernah turun. Padahal dengan adanya bukti melimpahnya sungai Nil, bisa dipastikan bahwa hujanlah yang membuat air sungai Nil melimpah.[27] Bukti-bukti ini yang tidak pernah diungkap oleh Noldeke.

4.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan secara umum bahwa Noldeke memberikan hujatan dan tuduhan terhadap al Qur’an dan Nabi Muhammad tidak disertai dengan bukti-bukti sejarah yang kongkrit. Kemampuannya dalam berbahasa Semit tidak disertai dengan pendalaman mengenai sejarah Arab. Hal ini terbukti dengan kesalahan argumennya mengenai penerjemahan kitab-kitab Yahudi Kristen ke dalam bahasa Arab, kemudian bukti bahwa bangsa Arab khususnya Makkah semuanya mampu dalam menulis dan membaca, maka karena itu Nabi Muhammad pun bisa membaca dan menulis sehingga dituduh bahwa Nabi Muhammad mengarang al Qur’an.
Pendekatannya yang menggunakan pendekatan Kritik Historis menjadikannya mengeneralisir kebenaran informasi yang ia dapat. Yaitu kebenaran yang mencakup antara sejarah dan legenda, antara fakta dan fiksi, dan antara realita dan mitos.[28] Apalagi penelitiannya yang didasarkan pada Bible membuatnya tidak objektif dalam memaparkan bukti dan pernyataan, karena semuanya harus disesuaikan dengan Bible.

C.  PENUTUP
Akhirnya ini yang bisa disampaikan penulis mengenai pemikiran Theodore Noldeke tentang al Qur’an. Tentunya terdapat banyak kekurangan dalam penulisannya. Namun penulis berharap akan ada karya tulis ilmiah lain yang menyempurnakan penulisan ini. Wallahu a’lam bis shawaab
DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an dan Tejemah
Armas, Adnin, Metodologi Bible dalam Studi Al Qur’an Studi Kritis, Jakarta, Gema Insani Press, 2005
Azami, M.M, The History of The Qur’anic Text, (Jakarta: GIP, 2005). Terj. Sohirirn Solihin, dkk.
Hidayat, Hayat dan Mohammad Hidayat, Sejarah al Qur’an dalam pandangan Theodor Noldeke, Kajian Orientalis Terhadap al Qur’an dan Hadits, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,2012
Jurnal Studi Qur’an vol 1 No 2, (Tanggerang: Pusat Studi Qur’an, 2006)
Ernst, Carl W., How to Read the Qur'an: A New Guide, with Select Translations. (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2011).
Theodore Noldeke, The History of Qur’an, ed: Wolfgang H. Behn, (Leiden-Boston, Brill, 2013)
S. Parvez Manzoor, Jurnal Studi Qur’an vol 1 No 2, Method Vis A Vis Truth, Orientalisme dalam Studi Al Qur’an, Tanggerang: Pusat Studi Qur’an 2006.
M.M. Azami, The History of The Qur’anic Text, (Jakarta: GIP, 2005)
Muhammad Faruq an Nabhani, al Madkhol ila ‘Ulumi al Qur’an, (Halb, Dar ‘Alim al Qur’an, 1426/2005).
Abdul Qodir Muhammad Manshur, Mausu’atu ‘Ulumi al Qur’an, (Halb: Dar al Qolam al ‘Aroby, 1422/2002).
الزاوي، أحمد عمران ، جولة في كتاب نولدكه تاريخ القرأن بعض المستشرقين حينما يكتبون عن الغرب والإسلام يكتبون بالمطارق، بالأقلام، دمشق، مكتبة دار طلاس، 2008






[1] Carl W. Ernst, How to Read the Qur'an: A New Guide, with Select Translations. (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2011), p. 43
[2] Hayat Hidayat dan Mohammad Hidayat, Sejarah al Qur’an dalam pandangan Theodor Noldeke, Kajian Orientalis Terhadap al Qur’an dan Hadits, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,2012, hal 41.
[3] Theodore Noldeke, The History of Qur’an, ed: Wolfgang H. Behn, (Leiden-Boston, Brill, 2013), p. 3
[4] S. Parvez Manzoor, Jurnal Studi Qur’an vol 1 No 2 2006, Method Vis A Vis Truth, Orientalisme dalam Studi Al Qur’an, Pusat Studi Qur’an, Tanggerang, hal 45.
[5] Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al Qur’an Studi Kritis, Jakarta, Gema Insani Press, 2005, hal 134.
[6] Theodore Noldeke, The History of Qur’an, ……, p. 5
[7] Ibid
[8] Ibid, p. 8
[9] Ibid
[10] Ibid, p. 14-15
[11] M.M. Azami, The History of The Qur’anic Text, (Jakarta: GIP, 2005) hal. 341. Terj. Sohirirn Solihin, dkk.
[12] Thedore Noldoke, The History of Qur’an, ……, p. 2
[13] Ibid, p. 3
[14] Ibid, p. 3-4
[15] Hayat Hidayat dan Mohammad Hidayat, Sejarah al Qur’an dalam pandangan Theodor Noldeke, Kajian Orientalis Terhadap al Qur’an dan Hadits, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,2012, hal 41.
[16] Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi al Qur’an Studi Kritis, hal 133.
[17]  الدكتور أحمد عمران الزاوي، جولة في كتاب نولدكه تاريخ القرأن بعض المستشرقين حينما يكتبون عن الغرب والإسلام يكتبون بالمطارق، بالأقلام، دمشق، مكتبة دار طلاس، 2008، ص. 49
[18]  نفس المرجع، ص. 51
[19]  Muhammad Faruq an Nabhani, al Madkhol ila ‘Ulumi al Qur’an, (Halb, Dar ‘Alim al Qur’an, 1426/2005), cetakan pertama, p. 42
[20] Abdul Qodir Muhammad Manshur, Mausu’atu ‘Ulumi al Qur’an, (Halb, Dar al Qolam al ‘Aroby, 1422/2002), cetakan pertama, p. 77
[21] Dr. Muhammad Imron az Zawy, Jaulatu fi Kitabi Noldeke Tarikhu al Qur’an. …., p. 52
[22]  نفس المرجع، ص. 71
[23] Q.S Al An’am: 14
[24]  المحامي الدكتور أحمد عمران الزاوي، جولة في كتاب نولديكه تاريخ القرآن، ص. 57
[25] Q.S Maryam: 28
[26] Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al Qur’an Studi Kritis, hal 136
[27] Ibid
[28] Hayat Hidayat dan Mohammad Hidayat, Sejarah al Qur’an dalam pandangan Theodor Noldeke, Kajian Orientalis Terhadap al Qur’an dan Hadits, hal 43.

1 komentar: