Selasa, 27 Desember 2016

Memahami Arti Islamisasi

Campus
UNIDA Campus
Intisari Buku “A Critical Survey Of Islamization Of Knowledge”
Oleh: M Shohibul Mujtaba

Latar Belakang
Di Barat, dikotomi dan separasi ilmu-ilmu agama (religious sciences) dan ilmu-ilmu sekuler (secular sciences) sudah lama terjadi yaitu sejak sekularisme dianut oleh masyarakat Barat sekitar abad ke-17 M. Sejak itu ihwal duniawi (termasuk ilmu pengetahuan umum/sekuler) dibedakan dan dipisahkan dari ihwal agamawi.
Di sekolah Barat murid-murid dilarang berdoa di ruang kelas sebelum pelajaran dimulai. Jika pun ada program studi agama (termasuk Islam) di universitas Barat, itu dimaksudkan sebagai kajian akademik murni dan tidak ada kaitannya dengan peningkatan ketakwaan dan penguatan iman. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi kedokteran misalnya banyak “disalahgunakan” untuk praktik aborsi dan euthanasia dalam masyarakat Barat.
Berbagai fenomena di Barat itulah tampaknya yang menggerakkan para cendikiawan Muslim dalam mencetuskan ide islamisasi ilmu pengetahuan. Kita memahami kegelisahan Mereka. Mereka ingin mengembalikan sains dan teknologi serta penggunaannya ke jalan sesuai ajaran agama (Islam). Perlu ditanyakan: Kenapa, apa dan bagaimana ide islamisasi pengetahuan yang dicanangkan oleh para tokoh penggagas Islamisasi tersebut direalisasikan? Kemudian dalam kesimpulan, penulis akan berusaha memaparkan dimana letak persamaan dan perbedaan ide mereka.

Pembahasan
Secara garis besar penulis buku ini berusaha mendeskripsikan tiga hal terkait Islamisasi. Pertama, alasan kenapa perlu Islamisasi pengetahuan. Kedua, apa itu Islamisasi pengetahuan. Ketiga, Bagaimana cara mengislamisasi pengetahuan.
Pertama. Kenapa perlu Islamisasi?
1.     A.K Brohi: Pengetahuan yang ada saat ini tidak bisa lagi dikatakan terlepas dari suatu ideologi tertentu. Artinya semua pengetahuan yang ada pasti memuat ideologi tertentu. Hal ini terjadi karena ilmu pengetahuan dikembangkan oleh orang yang anti agama, sehingga asumsi-asumsi spekulatif mereka telah menjadikan ilmu terlepas dari kerangka berpikir Islami. Hal ini jelas berakibat buruk pada worldview para cendikian Muslim, dimana mereka sejatinya belajar supaya menambah keimanan dan tidak dikhotomis dalam melihat ilmu pengetahuan. Namun dalam realitanya mereka dibuat supaya menjauh dari visi Islam (tauhid). Maka dari itu, perlu bagi segenap Muslim membawa kembali pengetahuan modern kepada fitrahnya, yakni pengetahuan yang berlandaskan Worldview Islam.
2.     Abdul Hamid Abu Sulayman: Melalui Islamisasi Ilmu pengetahuan, ummat akan menjadi sadar akan kebutuhan dan pentingnya prestasi ilmiah dan budaya.Masalah ummat yang begitu besar saat ini adalah masalah dunia intelektual dan metodologi yang terhegemoni oleh peradaban barat, hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan umat akan warisan keilmuan para pendahulunya ditambah dengan penyimpangan dalam sistem pendidikan yang disebabkan oleh westernisasi. Oleh karena itu perlu adanya model pendidikan yang Islami yang itu menerapkan Islamisasi ilmu pengetahuan.Selain itu juga masalah kondisi keterbelakangan, kelemahan dan kemalasanyang melanda kemayoritas umat, stagnasi intelektual, tidak adanya ijtihad, tidak adanya kemajuan budaya dan keterasingan dari norma-norma dasar peradaban Islam.
3.     Islmail Raji al-Faruqi: 1) metodologi Barat membuang wahyu sama sekali sebagai sumber ilmu pengetahuan dan hanya mengandalkan logika semata. 2) Sekularisasi agama yang berakibat pada sekularisasi pendidikan Islam. 3) Kurangnya visi yang jelas untuk memandu tingkah laku muslim. Hal inilah yang menjadikan Muslim perlu Islamisasi ilmu pengetahuan.
4.     Syed Muhummad Naquib al-Attas: Muslim memiliki dua problem: Internal dan Eksternal. 1) Internal meliputi hilangnya adab. 2) Eksternal meliputi kesalahan mengkonsepsikan pengetahuan yang ini bersumber dari Barat, yaitu memperlakukan wahyu sebagaiaman fenomena alami (bukan sakralitas).
5.     Thaha Jabir al-Alwani: Muslim sekarang memisahakan pembacaan atas dua hal penting yang telah Allah berikan: Wahyu (al-Quran) dan alam. Padahal, pertama, dengan pembacaan atas al-Quran, manusia akan tahu apa yang menjadi tanggungjawabnya terhadap Allah dan kedududukannya yang tinggi di dunia. Hal ini menjadi masalah, karena akan menjadikan manusia hanya ingat pada Tuhan dan menganggap agama itu penting saat ia butuh. Kedua, ketika manusia tidak mau membaca alam, manusia akan melupakan tanggungjawabnya sebagai khalifah di muka bumi. Pemisahan ini terjadi karena pengaruh westernisasi dalam dunia intelektual, maka dari itu diperlukan Islamisasi ilmu pengetahuan suapya tidak terjadi pemisahan antara keduanya.
Kedua: Apa itu Islamisasi?
1.     A.K Brohi: penulisan ulang buku standar yang itu berasakan pada prinsip-pinsip yang selaras dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Quran. Ia juga berarti menata ulang elemen-elemen pengetahuan modern dengan membuang hal-hal yang berbahaya bagi agama dan kehidupan manusia.
2.     Abdul Hamid Abu Sulayman: keinginan untuk menata ulang pengetahuan, budaya dan peradaban supaya terarah pada gerakan Islam dan memperkuat karakter muslim untuk merumuskan rencana dakwah. Secara mendasar, Islamisasi pengetahuan ini berfungsi sebagai kritik dan ujian terhadap disiplin ilmu modern supaya tetap di dalam cahaya Islam.
3.     Fazlur Rahman: Menolak ide Islamisasi pengetahuan. Ide dia bukan pengetahuannya yang di-Islamisasi, tapi pemikiran Muslimlah yang mesti diislamisasi. Karena orang yang pemikirannya sudah terislamisasi dia akan membuat hukum yang baik, ilmu pengetahuan pengetahuan dan menguji tradisinya sendiri di samping pengetahuan modern.
4.     Ismail Raji al-Faruqi: menata kembali seluruh warisan keilmuan manusia dengan titik dasar Islam (tauhid). Untuk itu, Muslim harus membagi ulang, menyusun ulang, memikirkan ulang alasan-alasan dan menghubungkannya kepada data disiplin keilmuan, mengevalusasi ulang kesimpulan-kesimpulan, meproyeksiakan ulang tujuan dari disiplin ilmu tertentu sehingga ilmu tersebut mendukung visi keislaman.
5.     Syed Muhammad Naquib al-Attas: Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler. Dan dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah (original nature).
6.     Taha Jabir al-Alwani: aktif terlibat dalam kegiatan intelektual, pemeriksaan,ringkasan, korelasi dan publikasi dari perspektif pandangan Islam tentang kehidupan, manusia dan alam semesta.
Ketiga: Bagaimana menjalankan Islamisasi?
1.     A.K Brohi: penulisan ulang buku teks standar yang itu berasakan pada prinsip-pinsip yang selaras dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Quran. Ia juga berarti menata ulang elemen-elemen pengetahuan modern dengan membuang hal-hal yang berbahaya bagi agama dan kehidupan manusia.
2.     Abdul Hamid Abu Sulayman: Pertama, penguasaan atas ilmu pengetahuan modern. Tujuannya adalah untuk mengasimilasi disiplin ilmu tersebut supaya dapat melayani ideologi dan visi Islam. Mengintegrasikan antara visi Islam dengan ilmu modern yang bermanfaat, sehingga dapat menjadi solusi bagi kehidupan modern.
3.     Ismail Raji al-Faruqi: Ada 12 langkah: 1) penguasaan disiplin keilmuan modern sekaligus kategorinya. 2) survey terhadap disiplin ilmu tersebut. 3) Penguasaan atas warisan keilmuan Islam dan persiapan untuk mengklsifikasikan tulisannya. 4) Menganalisanya. 5) menetapkan yang relevan dengan Islam menjadi suatu disiplin. 6) mengkritik penilaian disiplin ilmu modern. 7) mengkritik warisan keilmuan Islam. 8) meninjau permasalahan umat Islam. 9) meninjau permasalah manusia secara umum. 10) melakukan analisis dan sisntesis yang kreatif. 11) perombakan disiplin ilmu dibawah cara pandang Islam dalam bentuk buku teks universitas. 12) penyebaran islamisasi ilmu pengetahuan.
4.     Syed Muhammad Naquib al-Attas: melibatkan proses verifikasi dan devolusi, dan itu terpisah dari elemen westernisasi, kemudian menanamkan elemen Islami sebagai penggantinya. Islamisasi ilmu (seperti di atas) juga berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler. Dan dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya.Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah (original nature). Selain itu Dalam pandangan al-Attas, sebelum Islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran.( al-Attas, Islam and Secularism…, p. 45. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas…, p. 313. Abdullah Ahmad Na’im, et al., Pemikiran Islam Kontemporer…, p. 340). Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam merupakan pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata, melainkan karena istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka istilah-istilah itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya.Karena itu, istilah Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum Muhammad saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan agama Islam”, di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan. (Abdullah ahmad na’im, et al.,Pemikiran Islam Kontempore.r…, p. 341).
5.     Taha Jabir al-Alwani: 1) Mengartikulasikan paradigma keilmuan Islam, yang itu berbasis Tauhid. 2) Mengembangkan metodologi Qurani. 3) metodologi yang ada disesuaikan dengan al-Quran. 4) metodologi yang ada disesuaikan dengan Sunnah. 5) mengkaji ulang khazanah keilmuan para Ulama. 6) Penyesuaian dengan warisan intelektual Barat.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa para tokoh Islamisasi di atas sepakat bahwa pengetahuan modern saat ini tidak bebas nilai. Pengetahuan modern itu sangat dipengaruhi oleh ideologi atau wordlview tertentu. Yang mejadi perbedaan para tokoh penggagas ide Islamisasi terletak pada apa definisi dan aplikasi dari Islamisasi tersebut.