Jumat, 08 Januari 2016

Membangun Tradisi Keislaman Dan Keunggulan Berbasis Sistem Kampus Terintegrasi (Pengalaman Universitas Darussalam Gontor)

Gontor
Universitas Darussalam Gontor
By: Dr. Khalid Muslih, dkk.
      A.   Pendahuluan
Dalam penciptaan alam semesta ini, beragam makhluk; Malaikat, Jin, Manusia, Hewan, benda Padat, benda Cair, dan Gas, telah dicipta oleh Allah. Namun demikian diantara makhluk-makhluk tersebut manusia merupakan sentral penciptaan, dimana suluruh makhluk dicipta untuk mendukung tugas manusia sebagai khalifah di bumi.
Bila Malik bin Nabi –seorang pemikir al-Jazair- menformulasikan elemen peradaban dengan = Manusia + Tanah + Waktu, maka unsur manusia adalah unsur utamanya. Tanah bisa dikendalikan, sementara waktu yang telah berlalu, meskipun tidak bisa dikembalikan, namun bisa disiasati dan diantisipasi. Sehingga dapat dipastikan bahwa manusia merupakan unsur terpenting dalam peradaban. Warna manusialah yang akan mempengaruhi warna peradaban yang akan di bangun.
Untuk menjadi manusia yang ideal dam unggul yang mampu mengemban risalah khilafah dengan baik, bukanlah sesuatu yang given (pemberian Tuhan), namun hal yang harus diupayakan. Sehingga upaya pembentukan Insan Kamil merupakan prioritas utama dari proyek besar peradaban dan merupakan langkah awal dan utama dari proses kerja khilafah.
Tulisan berikut berupaya memotretdengan jeli dan cermat model pembentukan manusia unggul berbasis Kampus Perguruan Tinggi Pesantren Ter-integrasi, sebagaimana digagas oleh Universitas Darussalam Gontor;yang tidak saja fokus pada pembentukan manusia dalam sisi kognetifnya, tapi dari segala sisinya sebagai “Manusia Mulia Seutuhnya, yang diserahkan kepadanya pengaturan dan pengendalian langit dan bumi sebagai khalifah.
Gagasan Model Kampus Terintegrasi ini, sejatinya adalah upaya untuk memadukan antara:
a.    Perguruan Tinggi dan Pesantren, sehingga menjadi Perguruan Tinggi Pesantren;
b.   Akademis (Pengajaran) dan Non Akademis (Pendidikan dan Pengasuhan) yang direcord melalui Indeks Prestasi Komulatif Integratif (Akademik dan Non Akademik.)
c.    Trilogi Lembaga Pendidikan yaitu: Rumah, Sekolah/Kampus, serta Lingkungan atau masyarakat.
d.   Juga antarabidang Pendidikan utamanya 8 yaitu: Pendidikan Spritual(at-tarbiyah ar-Ruhiyah,Akhlak (ar-tarbiyah al-akhlaqiyah), Pendidikan Akal (at-tarbiyah al-aqliyah), Pendidikan Sosial Kemasyarakatan (at-tarbiyah al-ijtima’iyah), Pendidikan Jasmani (at-tarbiyah al-jismiyyah), Pendidikan Kesenian (at-tarbiyah al-fanniyah), Pendidikan Kepemimpinan (at-tarbiyah al-qiyadiyyah) dan Pendidikan Keterampilan (tarbiyah ‘la al-maharaat).
Antara Perguruan Tinggi dan Pondok Pesantren, dan antara Trilogi Lembaga Pendidikan serta antara delapan bidang pendidikan ini dicoba untuk diintegrasikan dalam sebuah Sistem Kampus Terpadu dengan aktifitas dua puluh empat jam.Tujuannya, untuk menghasilkan para sarjana yang mencerminkan konsep “Insan Kamil”(manusia paripurna) yang mampu membawa angin perubahan dalam masyarakat. Berikut ulasan pengalaman Universitas Darussalam Gontor. 
B.    Dasar Pemikiran: Integrasi Dua Keunggulan (Pesantren dan Perguruan Tinggi)
1.   Keunggulan Pesantren: (Sejarah, Peran dan Keunikan Pondok Pesantren & Pondok Modern Darussalam Gontor)
Tidak dapat dipungkiri bahwa “Pesantren” atau yang lebih dikenal dengan “Pondok Pesantren” merupakan keunikan sistem pendidikan Indonesia yang diperkirakan telah ada sejak abad ke lima belas Masehi.  
Pondok Pesantren muncul sebagai reaksi dari dominasi pengaruh sistem pendidikan imperalisme yang saat itu sudah tidak dapat dibendung lagi. Para ulama’ yang menyadari akan bahaya pengaruh imperalisme yang secara jelas-jelas menghancurkan sendi-sendi nilai dan ajaran Islam tersebut kemudian memilih pergi ke daerah pedalaman, di sana mereka menetap dan membangun gubuk selanjutnya mengajar masyarakat sekitar tentang Islam, nilai-nilai Islam serta cara hidup yang Islami.
Keunikan pesantren sebagai salah satu model lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia juga merupakan keunikan kultur Islam di Indonesia yang sangat original (Indigenous Culture-Islamized).Hal ini tercermin dalam hal-hal berikut:
Pertama: Pesantren masih terkenal sebagai Lembaga terdepan dalam tafaqquh fi al-din yang melahirkan para Ulama’ di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ulama’ Indonesia yang berkaliber merupakan produk pesantren.
Kedua: Bersistem asrama; dimana para santri diharuskan menetap selama 24 jam bersama kyai. Berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya para siswa-siswi berada di sekolah atau kampustidak lebih dari 6-10 jam saja.
Ketiga: Berbasis masyarakat. Ada hubungan yang kuat antara pesantren dan masyarakat, karena dimana terdapat sebuah pesantren (dimanapun saja berada), terjadi perubahan yang sangat signifikan terhadap masyarakat tersebut, terutama dalam sisi keislaman maupun sisi sosial.
Keempat: Teologis Religious. Hal yang juga menjadi perhatian utama pesantren adalah penanaman sisi keimanan (Aqidah) dan hidup beragama. Pesantren selalu berada dibarisan terdepan dalam memerangi hal-hal yang berkaitan dengan syirik dan praktek-praktek yang merusak Aqidah juga praktek-praktek kehidupan yang menyimpang dari ajaran Islam secara moral, terutama yang terkenal dengan "molimo" (5 hal yang tercela dan termasuk dosa besar dalam Islam yaitu: Mencuri, berjudi, berzina, minum-minuman keras, dan menkonsumsi candu (narkoba).
Kelima: Pesantren sangat menekankan pendidikan moral dan etik. Berbeda dengan sekolah, yang lebih mementingkan pengajaran (sisi kognetif) dari pada pendidikan.Pesantren lebih mengutamakan pendidikan yang lebih mengarah pada pembentukan moral dan karakter. Di dunia pesantren moral diajarkan melewati seluruh pelajaran, karena tujuan utama dari seluruh pelajaran adalah tertanamnya moral dan akhlak dalam diri para santri-santriwati. Tidak hanya itu, moral juga diajarkan melewati seluruh kegiatan dan aktifitas.  
Keenam: Di dunia pesantren seorang Kyai berperan sebagai figur sentral. Karena berdirinya pesantren sangat terkait dengan sosok kiyai, maka kiyai menjadi figur sentral, hal ini terjadi karena seorang kiyai memiliki kharisma yang tinggi serta keilmuan yang mampu menjadikannya teladan penuh dalam segala hal. Di dalam hal kepemimpinan selain kharisma dan haibah (wibawa) seorang kiyai juga biasanya memiliki kemampuan memimpinyang standar sehingga mampu menjadi pemimpin yang disegani dan bijak di kalangan pesantren.Beliau tidak saja ditaati oleh para santri dan seluruh penghuni pondok, tapi biasanya juga oleh masyarakat luas.   
Ketujuh: di samping itu pesantren sangat sarat dengan Jiwa berupa Nilai dan Filosofi. Berbeda dengan sekolah, pesantren didirikan diatas Jiwa, Nilai serta Filosofi yang sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai Islam.Dalam prosesnya pesantren berusaha menanamkan nilai-nilai, jiwa dan filosofi tersebut ke dalam diri dan pribadi santri, sementara sekolah hanya fokos pada pengajaran dan sisi kognetif dalam pendidikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Pondok Pesantren yang ada di Indonesia telah memberikan kontribusi sebagai pusat pembinaan, pusat keilmuan, dan pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat Indonesia. Dimana keberadaan Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia secara merata, telah melahirkan para tokoh, pemimpin serta profesional di berbagai bidang.
Berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur pada tahun 1926, telah memberikan warna baru ke dalam sistem pendidikan dan pengajaran ke dalam pondok-pondok yang telah ada; dimana Pondok Modern Gontor telah mamasukkan sistem sekolah ke dalam Pesantren yang sejak berdirinya menerapkan sistem tradisional (standar pendidikan bertumpu pada kitab, tidak menggunakan sistem klasikal dan tidak mengajarkan ilmu-ilmu modern (sains).
Pondok Modern Darussalam Gontor juga telah memasukkan bahasa Arab dan Inggris sebagai perhatian utama pesantren. Bahasa Arab untuk menguasai ilmu-ilmu keislaman (Dirasat Islamiyah), sementara bahasa Inggris untuk menguasai ilmu-ilmu modern, yang menjadi sebab bagi kemajuan peradaban saat ini.
Jika rata-rata pesantren mengajarkan dan berpegang teguh pada satu madzhab, Pondok Modern Darussalam Gontor mengajarkan perbandingan madzhab-madzhab yang muktabar dalam Islam. Hal ini dimaksudkan agar para santri terbebas dari sifat fanatisme yang berlebihan dalam madzhab yang hingga kini memecah belah umat.
Hal lain yang juga menjadi keunikan Pondok Modern Gontor adalah berdiri diatas dan untuk semua golongan. Tentu saja yang dimaksud disini adalah golongan yang masih dalam koredor Ahlu Sunnah wal Jama'ah, serta mendidik santri dan santriwati agar menjadi perekat umat yang selalu berupaya untuk menyatukan umat yang secara realita saat ini dipecah-pecah oleh fanatisme golongan dan kelompok.
Dalam hal sistem, satu hal yang sangat menonjol dari Pondok Modern Gontor adalah "Wakaf". Sistem wakaf yang diterapkan dimulai dengan pewakafan Pondok sebagai hak milik pribadi kepada umat, sehingga Pondok Modern Gontor menjadi milik umat bukan lagi milik pribadi maupun keluarga. Sistem wakaf ini kemudian diterapkan dalam rekrutmen kader, dimana kader yang mengabdi di Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) telah  terlebih dahulu menyatakan kesiapannya untuk mewakafkan dirinya untuk kepentingan Pondok, turut serta memperjuangkan, memajukan, membela serta bertanggung jawab atas hidup dan matinya pondok. Dengan sistem ini diharapkan keberlangsungan pondok dapat terjaga hingga hari akhir kelak.  
2.   Keunggulan Perguruan Tinggi
Sementara ini, Perguruan Tinggi masih menjadi icon dan Pusat paling strategis dalam dunia riset Ilmiah. Beberapa Pusat Riset ternama ada dibawah Perguruan Tinggi. Ada beberapa Pusat atau Lembaga Riset (Penelitian) yang memang berada di luar Perguruan Tinggi, tapi dalam realitasnya, riset-riset tersebut sarat ditunggangi oleh kepentingan. Sementara riset-riset yang dilakukan dibawah Universitas, mayoritas bersifat obyektif, dalam bingkai metodologi ilmiah yang terstandarisasi.
Selain itu Perguruan Tinggi merupakan lembaga yang sangat lekat dengan rasionalitas dan empirisme. Bersifat rasional, karena hampir tidak ada rancangan, keputusan dan kegiatan kecuali didasarkan pada hasil kajian ilmiah, bukan di dasarkan atas praduka, khurafat maupun mitos. Dan bersifat empiris karena berorintasi pada hasil kajian yang dapat diukur secara ilmiah. 
Berbeda dengan sekolah menengah atau Pondok Pesantren, Perguruan Tinggi memiliki kelebihan yang signifikan yaitu adanya “Kebebasan Akademik”. Dunia Pesantren yang berkonotasi Pendidikan Menengah, masih dipenuhi dengan keterbatasan-keterbatasan dan batasan-batasan, karena fokus perhatian masih pada pendidikan karakter dan mental. Sementara Perguruan Tinggi fokus perhatiannya pada Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat, untuk itu kebebasan akademik dibuka seluas-luasnya, namun tetap dalam bingkai nilai-nilai keislaman, obyektifitas, keilmuan dan metodologi. Dalam arti kebebasan akademik yang tetap bertanggung jawab. 
Ciri lain yang menonjol dari Perguruan Tinggi adalah akses terhadap “Modernisasi”. Dimana Perguruan Tinggi rata-rata menjadi lembaga pertama yang paling cepat mengakses modernisasi, juga menjadi lembaga paling cepat memproduk modernisasi, baik dalam sekala pemikiran, sikap dan produk barang.
***
Universitas Darussalam mencoba untuk memadukan antara keunggulan yang dimiliki Pesantren dan keunggulan yang dimiliki oleh Perguruan Tinggi, sehingga menjadi “Perguruan Tinggi Pesantren” yang mengintegrasikan antara beragam bidang:
a.   Bidang Pengajaran yang lebih dikenal dengan bidang Akademik, (yang menitikberatkan pada sisi kognetif), dan bidang Pendidikan serta Pengasuhan yang lebih dikenal dengan bidang Non Akademik yang menitik beratkan pada sisi psikomotorik dan afektif, atau sikap, mental, prilaku dan moral. 
Karena tujuan utama Perguruan Tinggi Pesantren adalah mewujudkan manusia seutuhnya yaitu “Insan Kamil”, maka bidang Pengajaran (akademis) merupakan bagian terkecil dari sarana mewujudkan tujuan diatas, sementara Pendidikan dan Pengasuhan mendapat porsi lebih besar daripada porsi pengajaran. Hal ini selaras dengan motto pendidikan Pondok Modern Gontor yaituat-tarbiyatu ahammu min at-taklim” (Pendidikan lebih Penting dari pengajaran). Walaupun demikian keduanya didesain memiliki keterkaitan secara sistemik untuk bersama mewujudkan tujuan pendidikan diatas. Semua kegiatan Akademik harus mendukung Non Akademik, sementara kegiatan non akademik juga tidak boleh menghambat tercapainya tujuan akademik. Apa yang dipelajari dalam bidang Akademik, mesti diperkuat dengan kegiatan Non Akademik.
Bidang akademik dikoordinasi oleh BAAK (Biro Administrasi Akademik), sementara bidang Non Akademik dikoordinasi oleh BANAK (Biro Administrasi Non Akademik). Jika Indeks Prestasi mahasiswa dalam bidang akademik direcord dalam Transkrip Nilai Akademik, maka semua Indeks Prestasi Non Akademikpun direcord dalam Transkrip Nilai Non Akademik. Perpaduan antara kedua transkrip nilai tersebut adalah cerminan Indeks Prestasi mahasiswa yang sebenarnya.  
b.   Trilogi Lembaga Pendidikan; Rumah, Kampus dan Lingkungan masyarakat
Dalam Perguruan Tinggi Pesantren, Mahasiswa dan seluruh civitas akademika berada dan tinggal dalam kampus, karena itu keberadaan kampus tidak hanya diposisikan sebagai sekolah; tempat menimba ilmu, tapi sekaligus menjadi rumah tempat tinggal. dan dari hasil interaksi antar mahasiswa dan mahasiswa dengan dosen, mahasiswa dengan tenaga kependidikan, antara dosen dengan dosen, dosen dengan mahasiswa, dosen dengan tenaga kependidikan dan seterusnya terbentuk sebuah lingkungan masyarakat dalam satu waktu.
Asrama, dalam Perguruan Tinggi Pesantren (UNIDA Gontor) difungsikan sebagai rumah, dimana asrama dibagi ke dalam kamar-kamar, dan setiap kamar ditentukan penanggung jawab (ketua kamar), dan setiap tiga kamar yang jumlahnya berkisar 30 mahasiswa dibimbing oleh Dosen Wali yang akan berfungsi menjadi pembimbing mereka selama menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Dosen wali ini dibantu oleh dua asisten dari mahasiswa pascasarjana dan para staff UNIDA Gontor.
Dosen wali beserta asistennya mengadakan pertemuan rutin minimal seminggu sekali untuk mentahsin bacaan dan hafalan al-Qur’an anggotanya, mengadakan kajian dan menyampaikan arahan, mengontrol perkembangan mahasiswa bimbingannya, serta membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh anggotanya. Intinya Dosen Wali berfungsi sebagai orang tua bagi mahasiswa yang berada dalam bimbingannya dalam bidang Non Akademik, sementara dalam bidang akademik mahasiswa dibimbing oleh Dosen Pembimbing Akademik.

c.   Integrasi Bidang Pendidikan: Spiritual, Akhlak, Akal, Jasmani, Seni, Kemasyarakatan, Kepemimpinan dan Keterampilan.
Tidak hanya kognetif, sasaran sistem kampus terpadu ini adalah internalisasimulti bidang pendidikan secara integratif: Spiritual, Akhlak, Jasmani, Seni, Sosial-Kemasyarakatan, Kepemimpinan dan Ketrampilan.
Materi di kelas misalnya, tidak hanya bertujuan untuk mencapai target target kognetif saja, akan tapi sedapat mungkin dapat diarahkan untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral (akhlak), kepemimpinan, sosial kemasyarakatan dan ketrampilan, bahkan seni dan spiritual. Demikian pula kegiatan yang sangat bernuansa spiritual seperti shalat misalnya, tidak terlepas dari tujuan pendidikan akal, dengan mengadakan ceramah setelah shalat yang bertujuan untuk menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam ritual ibadah tersebut, sehingga dapat menyentuh sisi akal dan logika. Artinya semua kegiatan tidak hanya didesain untuk merealisasikan satu satu bidang pendidikan saja, akan tetapi diharapkan dapat merealisasikan multi tujuan.

Dengan formulasi model dan sistem yang unik seperti ini diharapkan Perguruan Tinggi Pesantren mampu meraih keunggulan IMTAQ (Iman dan Taqwa) dan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) sekaligus, memadukan antara nilai-tradisi dan modernisasi. Kuat dalam prinsip dan adaptip terhadap kemajuan. 

The Place of Islamic Studies in the Islamization of Sciences

Syamsudin Arif
Ust. Syamsudin Arif
By: Prof. Dr. Syamsudin Arif

Although most Muslim scholars nowadays agree on the glaring need for an ‘Islamic science’ as well as the importance of Islamization of modern science and contemporary knowledge, little has been done over the past three decades or so in elucidating the place that traditional Islamic studies occupies in the new epistemic framework and the positive role it is supposed to play in reformulating the methodologies and philosophical underpinnings of various sciences. It is therefore the goal of my paper to highlight the importance of traditional Islamic studies such as ‘ilm usul al-din in relation to other branches of learning within an ‘Islamic university’.   
 Rethingking The Crisis 
In the book published by the Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM) in 1978 Syed Muhammad Naquib al-Attas wrote that the decline of the Muslims is caused not so much by corrupt leadership per se as by “confusion and error in knowledge of Islam and its worldview” which has created the condition for the loss of adab and which, in turn, has enabled “false leaders” to rise and to thrive in all spheres of societal life, causing the condition of injustice (zulm) amidst the Community.[1]  It must be pointed out that on this he clearly disagreed with many modernists or socalled ‘reformists’ like the Indian Sir Ahmad Khan and the Egyptian Muhammad ‘Abduh who argued for a rational and scientific understanding of Islam,[2] or Jamal al-Din al-Afghani, who promoted Islam as a political ideology vis-à-vis the Western powers and saw the establishment of a pan-Islamic state for the entire Ummah as the real solution and way out of the current predicament.[3]
 Unlike those thinkers who “traded their old lamp for a new one”, al-Attas insisted that the Muslims should look for guidance and solution in the luminaries of the past, i.e. the true, authoritative scholars (‘ulama) who were men possessed of intellectual and spiritual discernment and virtue, whose knowledge, derived as it is from the Divine Sources, is of a universal quality and character, transcending history and the forces of change, and hence still relevant today.[4] Again we must here note the difference between al-Attas and the late Isma‘il Raji al-Faruqi. The latter, still influenced by the modernists and expressing in rather pessimistic tones, held the Muslim scholars (‘ulama) of the past responsible for the backwardness of the Ummah, blaming them for closing the gate of ijtihad and causing the Shari‘ah to become frozen, and accused them of stifling individual creative thought and of advocating literalism, dualism, and escapism.[5]
 Rather than finding fault with the ‘ulama, al-Attas aptly observed that many Muslims today are confused. They have mistaken information for knowledge and science for truth, ending up in what the Holy Qur’an describes pertaining to those falling victims to the temptation of magic: “And they learn that which harms them and profits them not (wa yata‘allamuna ma yadurruhum wa la yanfa‘uhum)” (2: 102). They have lost the capacity to discern and distinguish the true from the false, the right from the wrong, and the useful from the useless.[6] The ‘web’ of intellectual confusion and epistemic error in which contemporary Muslims find themselves entangled is brought about by the ‘spider’ of ignorance concerning fundamentals of Islamic faith (al-‘aqa’id) and other related essentials of Islamic worldview which together constitute that category of knowledge designated by Imam al-Ghazali as fard ‘ayn.
 The resulting condition which al-Attas rightly called the loss of adab refers to the loss of discipline of body, mind, and soul,[7] whereby everyone claims that he has right to do and say just anything –a situation which ‘Abdullah ibn al-Mubarak (d. 181 A.H.) has anticipated long ago: “Withoutreference to authority, everybody wouldfeel free to say what he wanted (lawla al-isnad la-qala man sha’a ma sha’a)”.[8] Once this relativistic attitude prevails, everyone will regard himself the equal of others who are in fact superior and far better than him, knowingly or unknowingly cultivating immanent arrogance and obstinacy, unduly inclining towards envy, and tending to challenge, belittle and reject authority. Such a person haughtily thinks he knows while in reality he does not know his place in relation to himself and to others.[9]
 The loss of adab that manifests itself in the leveling of all to one’s own level leads to the undermining of legitimate authority as well as the destruction of hierarchy and the propagation of intellectual anarchy. A person exhibiting a lack of adab tends to whittle down to his size his great predecessors and contemporaries, attacking and disparaging them on account of the fact that those authorities – regardless of their roles as prophets, saints or scholars– are mere human beings, men of flesh and blood like any other, and dismissing their great works and lasting contributions, while at the same time emphasizing their human errors and trivial mistakes that in fact neither negate the validity of their teachings and thoughts, nor deny their rightful places in the Community. Indeed, the loss of adab is not only about putting all men (or all kinds of knowledge, books, etc., for that matter) together on the same level, but even worse placing the lesser above the greater in rank, or accepting the false authority and denouncing the true one.[10]
 Reflecting the loss of adab in the modern system of education is the greater attention and appreciation accorded to the acquisition of fard kifayah knowledge. Whereas this type of knowledge is allowed to develop tremendously and its pursuit supported by the state government with large funding, the Muslim’s education in fard ‘ayn knowledge is left at the elementary level, so that the majority of Muslims today spend most of their adult life knowing more about the world and very little about their religion. It is this mis-education with its elevation of the natural and social sciences and marginalization of the fard ‘ayn knowledge that has produced weak Muslims whose infantile and incomplete knowledge of Islam causes them to erroneously perceive their religion as the main source of backwardness.[11] Thus we find contemporary Muslims trapped in a vicious circle of confusion and epistemic error, the loss of adab, and the proliferation of false leaders, which together bring about the condition of injustice and chaos in the Community that is declared as the best ever raised up for mankind (khayra ummah ukhrijat li ’l-nas. Q.3:110).  
 In the contemporary system of education throughout the Muslim world, the false leaders who are confused and suffering from the loss of adab are responsible for perpetuating error by putting the fard kifayah scienceson the same level as that of fard ‘ayn knowledge, and by confusing the nature and method of the former with that of the latter, thereby opening the door to secularization of knowledge as has been happening in the West over the last 300 years. Having themselves been trained in Western-style institutions and having imbibed the secular humanistic values, these ‘educated’ Muslims are simply emulating their masters in their way of thinking, words and actions, and in producing and disseminating false knowledge that “has brought chaos to the three kingdoms of nature; the animal, vegetal, and mineral”.[12] This is why it becomes necessary -if we want to break the vicious circle- to redefine knowledge, to purge it of Western secular elements, and infuse it with Islamic values. And this is what al-Attas refers to as ‘Islamization’, involving “a critical examination of the methods of modern science, its concepts, presuppositions and symbols, its empirical and rational aspects, and those impinging on values and ethics, its interpretations of origins, its theory of knowledge, its presuppositions on the existence of an external world, of the uniformity of nature and of the rationality of natural processes; its theory of the universe; its classification of the sciences; its limitations and inter-relations with one another of the sciences, and its social relations”.[13]
 Reordering Knowledge
It was Abu Hamid al-Ghazali who first made the distinction between the fard ‘ayn knowledge and fard kifayah knowledge. According to him, while all knowledge is ultimately from God, not all knowledge is the same in terms of its objects, purpose, and method of acquisition. Some knowledge is compulsory to pursue, and some is not. That which is compulsory is further divided into the fard ‘ayn knowledge the acquisition of which is compulsory on every individual and the fard kifayah one the pursuit of which is a communal duty. Interestingly, although one may describe it as a collective responsibility, fard kifayah is an obligation which can in some cases be discharged by a single individual, so that if at least someone learns it, the rest is exempt from studying it. Falling under the first category are knowledge of how to perform what is obligatory and abandon what is prohibited and knowledge of what one ought to believe (al-‘ilm bi-kayfiyyat al-‘amal al-wajib fi‘luhu aw tarkuh waqta wujubihi wa al-‘ilm bi ’l-i‘tiqad al-wajib ‘ala ’l-‘amal). This is the knowledge meant by the Prophet as incumbent on every Muslim and is referring to the science of the path to the hereafter (‘ilm tariq al-akhirah) which comprises both the science of devotional practice (‘ilm al-mu‘amalah) as well as the science of unveiling (‘ilm al-mukashafah). Al-Ghazali exhorts students to attain this type of knowledge, which is not simply a memorization or collection of facts but rather “a light which floods the heart”.[14]
 Indeed, according to al-Ghazali, one must first fulfill the task of acquiring the fard ‘ayn sciences in accordance with one’s own needs and ability. The fard ‘ayn knowledge deals with religious beliefs (‘aqa’id), duties, and prohibitions. It is the noblest of all sciences because pertains to God and should be pursued for the sake of nothing else but for itself and for one’s salvation in the hereafter. Studying the fard‘ayn sciences is a life-long task of every individual. While the basic points one has to learn concerning beliefs are the same throughout one’s life, one’s knowledge of them may become deeper with time, just as it is possible at some stage of one’s life for doubts concerning some religious doctrines to creep into the mind so that it would be obligatory upon the person to learn whatever necessary to remove that doubt.[15]
 Now, the fard kifayah knowledge is divided into two: [i] the sciences about religion (‘ulum shar‘iyyah), which are derived from and revolve around the Divine Revelation and Prophetic tradition, including knowledge of the principles (‘ilm alusul) such as ‘ilm al-kalam, the ancillary sciences (‘ilm al-furu‘) such as fiqh and tasawwuf, the propaedeutic (al-muqaddamat) such as language and logic, and the supplementary (al-mutammimat) such as exegesis, usul al-fiqh and history; and [ii] the non-revealed sciences (‘ulum ghayr shar‘iyyah) that are attainable by means of reasoning, experience-experiment, and scholarly consensus, such as arithmetic, medicine, engineering, law, politics, economics, etc. In al-Ghazali’s own words: “Sciences whose knowledge is deemed fard kifayah comprise every science which is indispensable for the welfare of this world: for example, medicine which is necessary for the life of the body, arithmetic for the daily transactions and the distribution of inheritance, others besides”.[16]
 It important to note that in al-Ghazali’s view, however, not all knowledge is praiseworthy (mahmud). Some knowledge may be considered as blameworthy (madhmum) depending on the potential harm it may inflict on the students and other people or the advantage it may bring to those concerned whether directly or indirectly. Just as the revelational sciences are divided into the praiseworthy and the blameworthy, the non-revelational sciences are classified into three, namely: the praiseworthy, the blameworthy, and the permissible. Whereas the fard ‘ayn knowledge is always and wholly praiseworthy, the fard kifayah sciences are said to be praiseworthy only within a certain limit, as they vary with different individuals, disciplines and changing needs of society. Also, whereas the fard ‘ayn knowledge may and should be studied thoroughly (istiqsa’), the fard kifayah sciences should not be studied beyond the rudimentary (iqtisar) and intermediate (iqtisad) levels.[17]  Al-Ghazali laid down three general guidelines for those who want to study the fard kifayah sciences. First, one should always maintain the supremacy and the priority of the fard ‘ayn knowledge over the fard kifayah one. Second, one should observe gradual progress in the study of the fard kifayah sciences since these are of varying degrees of excellence, some being more important than the other. Third, one should refrain from studying those sciences have already been taken up by a sufficient number of people. Thus, the pursuit of the fard kifayah sciences should begin with the study of the Qur’an and its sciences, followed by the study of the Prophetic tradition (Sunnah) and its sciences, the study of law (fiqh) and the principles of jurisprudence or legal theory (usul al-fiqh), and the other sciences in that order.
 Rethinking University 
 The classification of knowledge such as espoused by al-Ghazali is important because it provides an alternative conceptual framework to the existing Western models of university organization. As we all know, universities in most countries nowadays are organized into faculties and departments each of which is defined by particular disciplinary fields and subfields that remain in most cases disconnected and developing in relative isolation from each other. Instead of educating wellrounded individuals, modern universities have become the breeding ground for narrow-minded specialists and single-minded careerists occupied only with his or her own field of interest or vocation. Most universities have lost the capacity to train students to become self-cultivated persons (Kulturmenschen) but to become only specialists (Fachmenschen)as the Germans would call them.
In the Muslim context, according to al-Attas, a university must be conceived in emulation of the general structure, in form, function and purpose, of a human being. A university should be the mircocosmic representation of man –or rather, of the Universal Man (al-insan al-kulliyy). Like a man, it must possess a vital centre, a soul, and a permanent, underlying principle that establishes its final purpose.[18] It should contemplate the universal, which is the ideal and eternally real, using all its various faculties to achieve some higher goal that lies beyond academic study in its purely pragmatic and utilitarian intentions. Since the purpose of its existence is to acquire and disseminate knowledge, the university should not promote skepticism, relativism, or agnosticism. Nor should it encourage the incessant pursuit of knowledge for the sake of knowledge. Rather, it must develop knowledge in line with its definite purpose and turn the sciences it teaches into a sign (ayat) that points not to itself but to what it is supposed to represent.[19]
 An Islamic university, like a Muslim man or woman, must not be geared to secular purposes, nor should it reflect the interests of the secular state and society. Instead of working to produce good citizens or employable graduates, the Islamic university should direct its efforts to the proper education of Muslim individuals and improvement and elevation of their personality. Therefore it is necessary to reorganize the university not just to better serve its diverse and growing student body, or meet the changing needs of society and industry, but rather to reflect the true purpose of human existence as God’s vicegerent on earth.
 Concluding Remark 
From the foregoing discussion it may be concluded that the mission of an Islamic university is first and foremost to Islamize the mind which is locus of knowledge. Both at the higher and lower levels of education, the core knowledge should be composed of ingredients pertaining to the nature of human being (insan), the nature of religion (din), the nature of knowledge (‘ilm), wisdom (hikmah), and justice (‘adl) with respect to human being, and the nature of right action (‘amal and adab) in relation God, the Revelation (the Qur’an and Sunnah), the Divine Law (Shari‘ah) and the Prophet. The sciences belonging to this core knowledge, being fard ‘ayn, should be related to each other and integrated into a harmonious unity in the university curriculum, rather than fragmented into separate disciplines resulting in the distorted vision of reality. The fard ‘ayn sciences must be not just normal kinds of knowledge alongside other disciplines, but must play an architectonic role in the circle of sciences.