Minggu, 10 April 2016

Merasakan Yang Tak Berasa

Rumah Sepi
Rumah Sepi

Dari kejauhan saya melihat sebuah rumah yang bentuknya tidak terlalu besar dan juga megah. Ia sederhana dan meneduhkan. Hingga akhirnya saya berniat untuk mendatanginya. Kaki saya mulai melangkah, tangan saya berayun mengikuti irama kaki, mata saya menatap lurus, badan saya tegap lurus menghadapnya dan bahkan hati saya terpokus sepenuhnya. Semakin dekat kaki ini melangkah semakin hati ini berdebar. Sungguh meneduhkan. Mata dan fikiran ini memperhatikannya dengan seksama hingga akhirnya ia terfokus pada pintu rumah. Pintunya terbuka lebar. Bibir saya mengembang pertanda ada secercah harapan di hati. Dengan hati berat lisan saya mengucapkan salam, dengan harapan sang penghuni rumah berkenan menjawab dan menemui saya di luar. “Assalamu’alaikum.” Sepi... berkali-kali saya mengulang salam namun tetap saja tidak ada jawaban. Saya pun duduk termenung. apa iya rumah yang rapi dan teduh ini tak berpenghuni?? Halamannya yang bersih dan tertata rapi menggambarkan bagaimana penghuni rumah ini sendiri. Sungguh saya terkesan. Lama saya duduk kemudian kembali mengulang salam, namun belum juga ada jawaban. Hingga akhirnya saya mencoba mengambil kesimpulan, mungkin penghuninya sedang mempersiapkan sesuatu di dalam sehingga ia belum keluar, kata hati saya menghibur diri. Harapan pun timbul kembali. Saya masih duduk manis menunggu.
Waktu terus berjalan, hingga tak terasa berapa lama saya duduk di luar. Perlahan saya bangun sambil meregangkan sendi-sendi tubuh saya yang mulai pegal kemudian beranjak ke pintu mengucap salam. Sunyi. Sepi. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Pikiran saya mencoba menerawan, kalau memang ia mempersiapkan sesuatu. Apa ia selama ini?? Kalau hanya mempersiapkan hidangan, saya rasa tidak perlu berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, apalagi berbulan-bulan. Cukup beberapa menit saja. Dan juga persiapkan apa yang ada saja. Itu cukup. Tidak perlu berlebih-lebihan, karena saya pun sebagai tamu sudah punya persiapan perbekalan tanpa harus merepotkan penghuni rumah sepenuhnya. Ah.. andaikan si penghuni rumah keluar sebentar saja. Saya akan bilang tidak perlu repot-repot mempersiapkan sesuatu. Saya ini biasa-biasa saja. Saya bukan pejabat yang butuh penyambutan luar biasa. Saya hanya orang biasa sebagaimana umumnya. Tapi sayang, ia belum juga muncul keluar.
Tak terasa matahari semakin condong ke barat. Hari sudah semakin sore. Hati saya menjadi cemas. Berbagai macam pertanyaan berseliweran di kepalaku. Semakin lama semakin terasa detik waktu yang ku lalui. Dengan hati penuh harap saya kembali menuju pintu mengucap salam. Tiba-tiba lampu teras menyala, beriringan dengan nyalanya lampu halaman. Saya lihat dari luar ruang depan, lampu kamar rumah itu dinyalakan. Suasana menjelang malam menjadi terang benderang menggantikan sinar matahari yang mulai meredup. Saya yang sudah sejak lama menunggu semakin yakin bahwa rumah ini berpenghuni. Ya ia berpenghuni.
Kali ini saya semakin takjub melihat rumah itu. Dengan kesederhanaannya membuat hati saya menjadi tenang. sedikit demi sedikit hawa damai menyelimuti hatiku. Saya mencoba merasakannya meskipun fikiranku masih bertanya-tanya.
Gelap benar-benar menutupi petala langit. Sinar matahari sudah tak menyisakan bias di ufuk barat. Satu persatu bintang gemintang mulai menampakkan diri berkelap-kelip bak mutiara. Hanya ada sedikit awan pekat mengambang diatas timur sana. Ada apa dengan awan itu? Saya kembali duduk sambil mengamati awan itu. Sepertinya ia enggan pergi dari posisinya. Itu telihat dari pergerakannya yang begitu lamban. Lamban sekali. Namun saya terus menatapnya memperhatikan pergerakannya. Beberapa menit kemudian, baru saya faham. Ternyata dibalik awan pekat itu ada rembulan setengah sempurna malu-malu menampakkan diri. Duh ia begitu indah dan manis. Meskipun dengan ketidaksempurnaannya, ia mau menyapa dunia yang sangat membutuhkannya. Kekurangan bukan alasan baginya untuk berbagi cahayanya. Bila menunggu kesempurnaan maka itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Dan bila ia telah sempurna, maka kesempurnaannya hanya terjadi dalam waktu yang singkat. Hanya satu malam saja, jika dibandingkan dengan ketidaksempurnaanya yang terjadi selama hampir sebulan penuh. Mungkin perinsipnya ketidaksempurnaan bukan alasan untuk tidak berbuat baik dan berbagi.
Beberapa saat saya tertegun menatapnya, kemudian pandangan saya beralih ke rumah yang sudah sejak lama saya tunggu penghuninya menampakkan diri. Belum juga muncul. Kemudian kembali melihat bulan. Kembali melihat rumah. Terus berulang sampai beberapa kali. Hati saya berkata, alangkah mulianya orang yang memiliki sikap seperti bulan. Ia berbagi dan terus berbagi, bahkan ia tak berharap untuk dihargai. Tanpa kusadari mata saya basah. Ada cairan bening menggenang di area lensa mataku. Saya terharu dan takjub. Ternyata masih ada mahluk-Nya yang memiliki sifat yang begitu luhur disaat sebagian mahluk sudah tidak memilikinya. Mungkin jumlahnya banyak namun tidak saya sadari keberadaannya.
Rabbi! Jadikanlah hambamu ini menjadi hambamu yang bersyukur atas nikmat yang terlah engkau datangkan dan yang akan engkau datangkan. Dan jangan engkau jadikan hamba menjadi orang yang mengabaikan segala nikmat yang telah engkau limpahkan kepada hamba.
Waktu terus berlaku. Malam semakin larut. Saya melongo jam tangan yang menempel di tangan kanan saya. Jarum jam menunjukkan jam 10.00. setelah lama duduk menanti namun tetap saja belum ada kepastian, saya bangun sambil menggerak-gerakkan bahu dan pinggulku yang mulai ngilu. Mataku kembali menatap lekat-lekat rumah itu. Meskipun terlihat terang, lama-kelamaan menjadi terasa benar-benar sunyi dan sepi. Hawa dingin malam mulai meraba pori-pori kulitku. Hatiku mulai berbisik-bisik, “mungkin penghuni rumah itu tidak berkenan dengan kedatangan kamu. Atau mungkin ia tidak ada waktu untuk menemui kamu. Sudahlah, kamu jangan paksa diri sendiri. Gak baik.” Kata hatiku. “jangan paksa orang lain, sebagaimana kamu juga tidak ingin dipaksa.” Tambahnya lagi. Setelah hati berkutat, bergejolak, berperang dengan kesendiriannya. Sampailah ia pada satu titik.
Saya mulai merapikan perbekalan yang saya bawa. Saya kemas semuanya menjadi satu. Saya bersiap-siap untuk membalikkan badan. Saat kaki ini hendak melangkah, terasa begitu berat. Ia bagaikan telah mengakar di tempat ini. Sulit untuk dicabut. Akarnya telah menjalar kemana-mana. Sesaat saya berdiri diam. Kepala saya menoleh ke belakang ke arah pintu, tetap saja seperti semula. Perlahan hati saya membujuk sang kaki agar berjiwa besar atas apa yang dialami waktu itu. Apa yang diharapkan belum tentu akan dicapai. Apa yang diinginkan belum tentu akan terlaksana. Disinilah ikhlas berperan, kata hatiku.

Lambat laun kakiku sudah mulai terangkat dan melangkah satu demi satu. Perlahan sambil melangkah, kepala ini tetap menoleh ke belakang, mungkin-mungkin ada seseorang keluar memanggil saya. Namun sampai jarak ini tak terukur bentangan talipun, belum ada yang keluar. Mungkin ia takkan keluar.