Selasa, 31 Maret 2015

Sejarah, Ideologi dan Ajaran Syi'ah Nushairiyah (Kajian Ilmiyah)



Pertemuan Para Presiden Syi'ah
A.  PENDAHULUAN
Banyak media nasional ataupun internasional memberitakan bahwa konflik yang tejadi di Suriah antara kelompok oposisi penentang rezim pemerintah dengan milisi pro-Pemerintah telah menelan banyak korban jiwa. Dari beberapa situs media menyatakan bahwa menurut organisasi pemantau HAM Suriah (Syrian Observatory for Human Rights), total korban tewas mencapai 82.257 orang. Dari angka tersebut, sekitar 34.473 korban tewas di antaranya merupakan warga sipil. Termasuk di dalamnya, 4.788 anak-anak dan 3.049 perempuan.[2] Dua bulan berselang setelahnya, Sekjen PBB Ban Ki-moon menyebutkan bahwa konflik di Suriah yang berlanjut hampir dua setengah tahun tersebut telah menewaskan lebih dari 100.000 orang dan menyebabkan jutaan orang meninggalkan rumahnya atau menjadi pengungsi di negara-negara tetangga. Dia menyampaikan pernyataan ini di kantor pusat PBB di New York bersama Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry.[3] Berita terakhir pada 2 Desember 2013 lalu menyatakan bahwa jumlah korban tewas telah meningkat menjadi sedikitnya 125.835 orang. Lebih dari sepertiga di antaranya adalah warga sipil. Tetapi angka yang sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi dari itu. Laporan ini diperoleh dari Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR).[4]
Dari beberapa sumber menyatakan, konflik yang telah menelan banyak korban jiwa antara oposisi dengan milisi pro-pemerintah tidak hanya didasari oleh kepentingan politik semata. Namun dibalik semua itu, konflik tersebut disebabkan karena perbedaan pandangan keagamaan antara kedua belah pihak di negara tersebut yang telah terjadi puluhan tahun lamanya.[5] Hal ini bisa diliat dari situs Kompas yang membertakan bahwa kelompok oposisi penentang pemerintah merupakan kelompok muslim sunni sedangkan yang pro pemerintahan yang berkuasa didominasi oleh kelompok Alwait[6] (Nuairiyah).[7] Presiden yang berkuasa pun, Bashar Asad dan keluarganya merupakan penganut syiah Nuairiyah.[8]
Kaitannya dengan pembahasan kita, sebagian besar pihak atau masyarakat tidak mengenal dan mengetahui seluk beluk syiah Nushairiyah yang dianut oleh presiden Suriah beserta para penganutnya. Bahkan banyak dari masyarakat kita yang ikut-ikutan dengan pemberitaan media yang sengaja menutup-nutupi fakta yang terjadi di Suriah. Padahal jika kita kaji lebih dalam, perbedaan pandangan antara kelompok ini dengan muslim Ahlus Sunnah merupakan mainstream yang sangat tajam. Oleh karenanya makalah ini bertujuan menjelaskan tiga poin penting mengenai inti atau jati diri Syiah Nushairiyah. Ketiga hal tersebut meliputi sejarah berdiri, pandangan aqidah dan berbagai ajaran yang dianut oleh Syiah Nushairiyah. Dengannya diharapkan pembaca bisa mendudukkan persoalan konflik di Suriah secara benar.
B.  PEMBAHASAN
1.    Sejarah Syiah Nushairiyah
Nushairiyah merupakan gerakan syi’ah batiniyah[9] yang muncul pada abad ke-tiga hijriyah. Nama Nushairiyah diambil dari nama pendirinya sendiri, yaitu Muhammad Ibnu Nuair Al-Numairi,[10] yang dikenal dengan kunniyah (panggilan) Abu Syu’aib.[11] Kota kelahirannya adalah Persia (Iran) dan termasuk penganut syiah Istna Asy’ariyah yang meninggal pada tahun 270 hijriyah. Ia sezaman dengan tiga iman Syiah Istna Asy’ariyah, yaitu imam kesepuluh Ali Al-Hadi, imam kesebelas Hasan Al-‘Askari, dan imam kedua belas Muhammad  al-Mahdi.[12]
Menurut para pakar sekte Syi’ah, pada awalnya Abu Syu’aib adalah seorang maula (hamba sahaya) yang dimerdekakan oleh imam ke-11 kaum Syi’ah, Al-Hasan Al-‘Askari. Namun setelah kemerdekaannya, Abu Syu’aib sering mendapat keritikan keras dari  Al-Hasan Al-‘Askari disebabkan oleh keyakinan dan pemikirannya yang menyimpang dari pemahaman Syiah Istna Asy‘ariyah.[13] Dalam suatu diskusi dengan para pengikut Syi’ah Itsna ‘Atsariyah, Abu Syu’aib terlibat perselisihan yang tajam. Ia mengklaim dirinya sebagai al-bab (penghubung) kaum syi’ah dengan imam mereka yang ke-12, Muhammad bin Hasan Al-Askari yang dijuluki Al-Mahdi Al-Muntazhar. tetapi klaim ini ditolak oleh seluruh kelompok Syi’ah Itsna Asy’ariyah lainnya, karena menurut mereka, al-bab bagi imam ke-12 adalah ada empat orang, yaitu Utsman bin Sa’id Al-‘Amri, Muhammad bin Utsman bin Sa’id, Husain bin Ruh An-Naubakhti (w. 326 H), dan Ali bin Muhammad As-Samiri.[14]Akibat perselisihan tersebut, Abu Syu’aib memisahkan diri dan membentuk kelompok sendiri yang kemudian hari disebut Nushairiyah.[15]
Sebagaimana sekte Syi’ah ekstrim lainnya,[16] Nushairiyah juga meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Ilah (Tuhan yang wajib disembah). Dari sumber Syi’ah menyebutkan bahwa Al-Hasan Al-‘Askari menulis surat peringatan kepada para pengikutnya agar berhati-hati terhadap paham Nushairiyah,

أني أبرأ إلى الله من ابن نصير النميري, وابن بابا القمى. فابرأ منهما. وإني محذرك و جميع مواليّ٬ ومخبرك أنّي العنهما – عليهما لعنة الله – فتّانين موذيين. آذاهما الله. وأرسلهما في اللعنة. وأركسهما في الفتنة . . .

 “Sesungguhnya aku berlepas diri kepada Allah dari Ibnu Nushair An-Numairi dan Ibnu Baba Al-Qumi. Aku berlepas diri dari keduanya. Aku memperingatkanmu dan memperingatkan seluruh mawali (pengikut)ku dari keduanya. Aku memberitahukan kepada kalian bahwa aku melaknat kedua orang itu. Semoga laknat Allah ditimpakan kepada keduanya. Keduanya adalah tukang pembuat fitnah dan perusuh. Semoga Allah menyiksa keduanya, mengirimkan keduanya ke dalam fitnah, dan menjungkir balikkan keduanya di atas fitnah.”[17]
Ibnu Ja’far Muhammad bin Hasan Al-Thusi menulis dalam Kitab Al-Gaibah tentang kutukan tokoh syiah terhadap Ibnu Nushair karena ia mengklaim dirinya sebagai nabi dan al-bab (pintu penghubung dengan imam Al-Mahdi Al-Muntazhar, imam ke-12 versi Syi’ah), mengklaim para imam ahlul bait adalah Ilah (tuhan yang berhak disembah), meyakini reinkarnasi, menghalalkan khamr dan homoseksual, dan pendapat-pendapat keji lainnya.[18]

وقال سعد بن عبد الله: كان محمدّ بن نصير النّمير يدّعي انّه رسول نبيّ وأنّ عليّ بن محّمد عليه السلام أرسله٬ وكان يقول بالتّناسخ٬ ويغلو في أبي الحسن عليه السلام ويقول فيه بالربوبية٬ ويقول بالإباحة للمحارم٬ وتحليل نكاح الرجال بعضهم بعضا في ادبارهم٬ ويزعم أنّ ذلك من التّواضع والإخبات والتّذلّل في المفعول به وأنّه من الفاعل إحدى الشّهوات والطّيّبات٬ وأنّ الله عزّ وجلّ لايحرّم شيئا من ذلك وكان محمدّ بن موسى بن الحسن بن الفرات يقوّي أسبابه ويعضده.
Bila diamati hampir seluruh literatur Syi’ah sendiri mengakui dan menyesatkan pemahaman dan ajaran yang di anut oleh Muhammad Ibnu Nushair An-Namiri, sebagaimana ditulis oleh para ulama syiah dalam buku mereka seperti, As-Sayid Abdul Husain Mahdi Al-Askari, dalam bukunya yang berjudul “Al-‘Alawiyyun aw An-Nushairiyah,[19] Sa’ad Al-Qumi dalam bukunya Al-Maqalat wal Firaq,[20] An-Naubakhti dalam bukunya Firaq Asy-Syi’ah,[21] Abu Umar Al-Kasyi dalam bukunya Rijalul Kasyi,[22] Abu Ja’far Ath-Thusi dalam bukunya Rijaluth Thusi dan Kitab al-Ghaibah,[23] Al-Halabi dalam bukunya Ar-Rijal, Ath-Thibrisyi dalam bukunya Al-Ihtijaj, dan Musthafa Asy-Syibi dalam bukunya Ash-Shilah baina At-Tashawwuf wa at-Tasyayyu’.[24]
Seorang ulama besar Syi’ah Itsna Asyariyah abad ke-3 H, Sa’ad bin Abdullah Al-Qumi (wafat tahun 301 H.) menulis: “Telah menyimpang satu kelompok dari kelompok-kelompok (Syi’ah Itsna ‘Asyariyah) yang mengatakan keimaman Ali bin Muhammad pada masa hidupnya. Kelompok yang menyimpang ini mengakui kenabian seorang laki-laki yang dikenal dengan panggilan Muhammad bin Nushair An-Numairi yang telah mengklaim dirinya sebagai nabi dan rasul. Ia mengklaim bahwa imam Ali bin Muhammad Al-Askari telah mengutusnya sebagai rasul. Ia meyakini reinkarnasi, bersikap ekstrim tentang diri Abul Hasan (Ali bin Abi Thalib–edt) dengan menyatakan Abul Hasan adalah Rabb (Tuhan Sang Pencipta, Pengatur alam, dan Pemberi rizki—edt). Ia menghalalkan menikahi wanita-wanita mahram dan memperbolehkan laki-laki menikahi laki-laki pada duburnya (homoseksual), dan menyatakn hal itu adalah bukti tawadhu’ (kerendahan hhati) dan penghinaan diri terhadap obyek seksual…[25]
Dalam buku Firaq Asy-Syi’ah karangan Hasan bin Musa An-Naubakhti menyebutkan fakta yang serupa dengan diatas.[26] Begitu juga dengan ulama besar fiqih di kalangan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, Abu Ja’far Ath-Thusi, dalam bukunya Kitab Al-Ghaibah menjuluki Ibnu Nushair An-Numairi sebagai  orang atheis, menyimpang, dan bodoh.[27]
Penjelasan oleh para ulama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah terdahulu ini ditegaskan kembali oleh seorang ulama besar Syi’ah Itsna ‘Atsariyah kontemporer, Muhammad Ridha Syamsudin. Ketia Ia diutus oleh Abdul Hadi Asy-Syairazi, pemimpin ulama besar Syi’ah Istna Asyariyah di kota ilmu mereka, Nejef, untuk mengunjungi dan meneliti keadaan kelompok Nushairiyah di Suriah, tahun 1376 H. Dalam laporan kunjungan tersebut, Muhammad Ridha Syamsudin menulis:
Sesungguhnya kelompok Nushairiyah sampai hari ini masih memegang teguh pemikiran pemimpin mereka, Muhammad bin Nushair.”[28]
Ia menyebutkan bahwa kunjungannya disambut dengan hangat oleh kelompok Nushairiyah. Hanya saja ia memperhatikan bahwa kelompok Nushairiyah sama sekali tidak peduli dengan kewajiban-kewajiban agama seperti shalat, shaum, haji, dan di wilayah mereka tidak ada masjid. Ia juga mendapati keyakinan reinkarnasi masih tersebar merata di antara mereka.[29]
Kesaksian ulama besar Syi’ah Itsna Atsariyah ini merupakan bukti nyata dan valid dari kalangan mereka sendiri. Kesaksian hasil kunjungan di tahun 1376 H itu dituangkannya dalam bukunya yang berjudul Al-‘Alawiyyun fi Suriyah, dan dimuat pula oleh ulama Syi’ah lainnya, As-Sayid Abdul Husain Asy-Syi’i dalam bukunya, Al-‘Alawiyyun aw An-Nushairiyyah.[30]
Perlu diketahui bahwa Ibnu Nushair bukanlah orang Syi’ah pertama yang mengklaim Ali bin Abi Thalib dan para imam anak keturunannya adalah Rabb, Ilah, dan mengetahui ilmu tentang hal-hal ghaib. Orang pertama meletakkan dasar-dasar keyakinan itu adalah Abdullah bin Saba’ berasal dari keturunan Yahudi, yang hidup di zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Pengikutnya dikenal dengan sebutan Syi’ah Saba’iyah. Setelah itu, muncul Abul Khathab dengan kelompok Syi’ah Khathabiyah yang mengklaim para imam adalah Tuhan-tuhan yang harus disembah. Imam Ja’far Ash-Shadiq berlepas diri dari Abul Khatab, bahkan ia mencela dan mengusirnya. Setelah itu, kesesatan Abul Khatab justru semakin menjadi-jadi. Ia mengklaim dirinya adalah Tuhan. Ibnu Nushair An-Numair banyak mengambil pemikiran Khathabiyah sebagai pijakan akidah kelompoknya.[31]
Khathabiyah adalah kelompok ekstrim Syi’ah pengikut Abul Khathab Al-Mukhallis Muhammad bin Abu Zainab Al-Kahili. Menurut kelompok Nushairiyah, ia adalah al-bab bagi imam ke-7 kelompok Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, Musa al-Kazhim. Abu Khatab adalah tokoh panutan Nushairiyah, karena dari dirinyalah Nushairiyah mengambil pendapat bersatunya Allah dengan jasad Ali bin Abi Thalib dan para imam ahlul bait. Murid utama Abul Khatab adalah Mufadhal bin Umar Al-Ju’fi, tokoh yang menulis buku Al-Haft wa Al-Azhilah. Buku ini diyakini oleh kelompok Nushairiyah sebagai kitab ‘suci’ mereka.[32]  
Barangkali satu-satunya hal yang berubah hanyalah sikap Syi’ah Itsna Asyariyah masa lalu dengan sikap kontemporer mereka terhadap sekte Nushairiyah. Imam kesebelas ahlul bait dan tokoh-tokoh ulama Syi’ah Itsna Asyariyah terdahulu sepakat menghujat Nushairiyah. Namun, sekarang para tokoh Syi’ah Itsna Atsariyah telah merangkul dan mengakui sekte Nushairiyah sebagai bagian tak terpisahkan dari Syi’ah Itsna Atsariyah. Pemimpin ulama Syi’ah Itsna Atsariyah di kota ilmu, Nejef, Abdul Hadi Asy-Syairazi telah menegaskan hal itu dalam bukunya yang berjudul “Al-‘Alawiyyun Syi’atu Ahlil Bait.”[33]
Realita kontemporer memang menjadi bukti atas persatuan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dan Nushairiyah. Sebagai sesama syi’ah ekstrim yang memiliki banyak akidah menyimpang yaitu meyakini unsur ketuhanan pada diri Ali dan imam-imam ahlul bait, meyakini para imam memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib, meyakini para imam berkuasa mengatur kehidupan seluruh makhluk, amat wajar bila anak bernama Nushairiyah ini pulang kandang ke pangkuan induk semangnya, Syi’ah Itsna Atsariyah. Keberpihakan Syi’ah Nushairiyah yang membantu Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dalam membantai kaum muslimin di Lebanon dan Suriah sudah bukan rahasia lagi.[34]
Selain menggunakan nama Nushairiyah kelompok Syi’ah ini juga dikenal dengan beberapa nama[35], yaitu:
  1. Nushairiyah. Menurut pendapat yang paling kuat, nama ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Nushair An-Numairi. Nama ini adalah nama yang dibenci oleh para pengikut Nushairiyah. Mereka membela diri dengan menuduh penamaa ini berasal dari musuh-musuh mereka atas dasar kebencian. Namun fakta sejarah sejak zaman pendiri gerakan ini telah mengaitkan penamaannya dengan nama pendirinya. Bahkan, sekte-sekte ekstrim Syi’ah Itsna Asyariyah yang lain juga menyebut mereka dengan nama Nushairiyah. Sehingga nama ini adalah nama mereka yang paling populer sampai saat ini.
  2. Alawiyyun, adalah nama yang paling disukai oleh para pengikut Nushairiyah, terutama demi meraih simpati dan kedekatan dengan sekte-sekte Syi’ah lainnya. Para pakar sejarah menyatakan mereka disebut ‘Alawiyyun karena menyembah Ali bin Abi Thalib dan para imam keturunannya. Mereka meyakini Ali adalah Ilah (Tuhan yang berhak disembah). Nama ini kembali dikukuhkan sebagai gelar kehormatan untuk mereka oleh penjajah Perancis saat menduduki Suriah pada Perang Dunia I, 1917 M. Gubernur Jendral Perancis di Suriah telah mengeluarkan surat keputusan resmi pada tahun 1920 M yang mengakui Al-Alawiyyun sebagai pengikut dan pembela kepentingan penjajahan Perancis.
  3. Numairiyah. Nama ini dinisbahkan kepada tokoh pendirinya, Muhammad Ibnu Nushair An-Numairi.
  4. Surak. Nama ini diberikan oleh penguasa Turki pada saat menguasai negeri-negeri Syam. Maknanya dalam bahasa Turki kuno adalah orang-orang buangan.
  5. Syimaliyah dan Kalaziyah. Syimaliyah adalaha kelompok Nushairiyah yang meyakini bahwa setelah meninggalkan jasad manusiawinya, Ali bin Abi Thalib sebagai tuhan bersemayam di bulan. Adapun Kalaziyah adalah kelompok Nushairiyah yang meyakini bahwa setelah meninggalkan jasad manusiawinya, Ali bin Abi Thalib sebagai tuhan bersemayam di matahari. Oleh karenanya, kedua kelompok ini mengagungkan bulan dan matahari, dan melakukan sembahyang menghadapnya.[36]
2.    Akidah Syiah Nushairiyah
Untuk memahami Aqidah dan ajaran Syiah Nushairiyah tidak semudah mempelajari aqidah dan ajaran seperti yang terdapat pada kaum Sunni ataupun pada agama-agama lain umumnya, bukan karena sulit untuk dipahami dan diamalkan tetapi sulit untuk didapatkan atau peroleh ilmunya.[37] Dalam kitab karangan ulama mereka  (Nushairiyah) menyatakan,
وأوصيك يا أخي ونفسي بكتمان سر الله تعالى٬ وباطن مكنونه٬ إلا من إخوانك الموحدين المقرين بمعرفة علي الأعلى...
Aku nasehati diriku dan kamu supaya menyembunyikan ilmu tentang Allah dan ilmu kebatinan, kecuali hanya kepada saudaramu yang sejalan (sealiran) denganmu untuk mengetahui tentang ketinggian Imam Ali..)[38]
Oleh kerena itu aqidah dan ajaran mereka bersifat eksklusif, artinya yang berhak memperoleh ajarannya hanya orang-orang tertentu yang sejalan dengan alirannya, atau dengan kata lain tidak diajarkan dan dipasarkan secara umum.[39] Bahkan mereka bersumpah untuk menyembunyikan aqidah mereka. Kalau ada yang keluar dari alirannya, kemudian meyiarkan salah satu rahasia keyakinan mereka maka dia akan diberikan sanksi dengan dibunuh.[40] Adapun kaum wanita di kalangan mereka tidak diperkenankan untuk mengetahui ajaran kelompoknya, karena mereka dianggap lemah akal dan teman setan, sedangkan kaum laki-laki hanya diperbolehkan mengetahui ajaran kelompoknya ketika telah berusia 19 tahun ke atas, dan lolos seleksi keanggotaan yang meliputi tiga jenjang.[41] Perekrutan dan organisasi kelompok ini menyerupai sistem perekrutan dan organisasi kelompok Yahudi Freemasonry, iluminity, dan lainnya.[42]
Dari kitab suci mereka, seperti Al-Haft Asy-Syarif min Fadha’il Maulana Ja’far Shadiq, Ta’limu Dianat An-Nushairiyah dan buku-buku karangan para ulama Syi’ah ekstrim Itsna ‘Asyariyah serta pengikut Nushairiyah, bisa diketahui bahwa aqidah Nushairiyah adalah sebagai berikut:

1.    Aqidah tentang Ketuhanan
Dalam aqidah Syi’ah Nushairiyah meyakini bahwa tuhan menitis ( الحلول )  kepada manusia yang dipilih di bumi.[43] Mereka meyakini penitisan tuhan itu telah terjadi dari semenjak pertama kali manusia diciptakan. Ada tujuh manusia yang merupakan titisan tuhan dari awal penciptaannya yaitu, Habil, Syit, Syam, isma’il, Harun, Syam’un dan Ali bin Abi Thalib. Pada tiap-tiap fase penitisan, Allah mengangkat seorang rasul sebagai perantara atau penghubung antara diri-Nya dengan manusia. Para rasul tersebut secara berturut-turut adalah Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad.[44] Untuk memudahkan dalam memahaminya sebagaimana tertera dalam tabel berikut:

No
Titisan Tuhan
Rasul
1
Habil
Adam
2
Syit
Adam
3
Sam
Nuh
4
Ismail
Ibrahim
5
Harun
Musa
6
Sham’un (Petrus)
Isa (Yesus)
7
Ali bin Abi Thalib
Muhammad SAW.

Ali bin Abi Thalib adalah salah satu titisan tuhan yang mengalir pada dirinya sifat-sifat ketuhanan, sehingga Ali menurut mereka adalah Ilah (tuhan) secara bathin, seorang imam secara dzahir, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak makan dan minum.[45]
Dalam keyakinan mereka Ali Bin Abi Talib yang menciptakan Muhammad SWT. sebagai rasul yang menjadi penghubung antara Ali (sebagai Ilah) dengan seluruh makhluknya. Oleh karena itu, pada malam hari, Ali dan Muhammad SAW. berhubungan (menyatu), sedangkan pada siang hari mereka berpisah seperti manusia biasa.[46] Sementara untuk mengatur kehidupan di lagit, bumi dan alam semesta secara keseluruhan, Muhammad SAW. menciptakan Salman Al-Farisi, kemudian Salman Al-Farisi pun menciptakan lima anak yatim yang bertugas sebagai wakil tuhan mengatur semuanya sesuai dengan tugas yang telah diberikan kepada mereka, yaitu:
1.     Miqdad bin Aswad, bertugas untuk menciptakan manusia (Rabbun naas), Ia diberi kekuasaan juga untuk mengatur guntur dan petir.
2.     Abu Dzar Al-Ghifar, diberi kekuasaan mengatur pergerakan bintang-bintang dan planet-planet di angkasa.
3.    Utsman bin Mazh’un, ia diberi kekuasaan mengatur lambung, suhu badan,  kesehatan dan penyakit manusia.
4.    Abdullah bin Rawahah, ia diberi kekuasaan mengatur pergerakan angin dan mencabut nyawa manusia.
5.    Qunbur bin Kadan, ia diberi kekuasaan meniupkan nyawa ke dalam jasad janin manusia dalam rahim.[47]
Dengan tiga keyakinan utama terhadap Ali bin Abi Thalib, Nabi Muhammad SAW. dan Salman Al-Farisi, mereka (Syiah Nushairiyah) menjadikannya sebagai tuhan trinitas yang mereka singkat dengan ‘ع م س’ (Ali Bin Abi Thalib, Muhammad SAW, Salman Al-Farisi). Sayyidina Ali diumpamakan makna, Nabi Muhammad diumpamakan nama dan Salman Al-Farisi diumpamakan pintu. Semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, kemudian ketiganya membentuk zat ketuhanan yang satu.[48]
Dari penjelasan di atas, para ulama dan pakar sekte menjelaskan bahwa sesungguhnya ajaran kelompok Nushairiyah tentang ketuhanan merupakan adopsi dari ajaran berbagai agama dan sekte sesat yang berlainan, yaitu:
1.      Paganisme, dalam wujud ajaran Nushairiyah yang mengagung-agungkan bintang, planet, dan benda-benda langit.
2.      Nashrani, dalam wujud ajaran Nushairiyah yang menyatakan unsure ketuhanan dalam trinitas: Ali Bin Abi Thalib, Muhammad dan Salman Al-Farisi.
3.      Syi’ah Itsna Asyariyah, dalam wujud ajaran Nushairiyah yang menyatakan para imam mereka berturut-turut adalah Ali dan kesebelas anak-turunannya sebagaimana keyakinan kelompok Syi’ah Itsna Asyariyah.
4.      Majusi Mazdakisme, dalam wujud ajaran Nushairiyah yang mengajarkan menghalalkan semua larangan agama (menghalalkan khamr, zina, homoseksual, dan lesbian), menyatakan semua perintah agama telah gugur, dan memperingati hari raya Majusi, Nairuz.[49]

2.    Akidah tentang hari akhir
Kelompok Nushairiyah meyakini reinkernasi. Menurut akidah mereka, ketika seorang manusia telah mati maka ruhnya akan menitis pada jasad yang lain sesuai dengan amalan yang ia kerjakan semasa hidupnya. [50] Dengan demikian, mereka tidak meyakini pahala yang dibalas dengan kenikmatan surga dan dosa yang dibalas dengan siksa di neraka. Mereka tidak meyakini adanya kehidupan alam barzakh dan alam akhirat.[51]
Di sisi lain, mereka meyakini bahwa ada alam ruh yang tinggi di langit, yang dihuni oleh makhluk-makhluk yang tinggi lagi mulia, yaitu di bintang-bintang dan planet-planet. Mereka meyakini bintang-bintang dan planet-planet tersebut memancarkan limpahan cahaya secara terus-menerus pada ketujuh tingkatan langit sesuai tingkatannya masing-masing. Mereka meyakini ruh seorang mukmin berinkernasi dalam wujud tingkatan-tingkatan yang berbeda di kalangan penghuni alam ruh di ketujuh langit. Mukmin sejati, menurut mereka, akan berinkernasi menjadi bintang yang cahayanya terang dan kuat.[52]
Adapun ruh orang-orang kafir dan jahat akan berinkernasi dalam wujud semua benda dan makhluk di alam raya ini selain wujud manusia. Mereka akan berinkernasi menjadi batu, pohon, air, garam, benda mati, hewan yang biasa disembelih dan dimakan maupun hewan yang tidak biasa disembelih dan dimakan. Bila berinkernasi dalam wujud hewan yang biasa dimakan maupun tidak, maka mereka akan mati, berinkernasi, mati, berinkernasi, dan terus-menerus mengalami proses inkernasi sampai seribu kali kematian dan seribu kali disembelih.[53]
Mereka meyakini, proses inkernasi pada diri orang-orang jahat dan kafir akan terus berlangsung sampai munculnya imam mereka yang terakhir, yaitu Muhammad bin Hasan Al-Askari yang merupakan imam ghaib kedua belas dalam ajaran Syi’ah Itsna Asyariyah. Muhammad bin Hasan Al-Askari akan mengembalikan mereka kepada wujud manusia, lalu membunuh mereka hingga darah mereka menggenangi lembah-lembah.[54]

3.    Ibadah-ibadah dan hari raya kelompok Nushairiyah
Sebagaimana halnya kelompok-kelompok Bathiniyah yang lain, Nushairiyah meyakini bahwa perintah-perintah agama hanya berlaku untuk kaum awam yang bodoh (kaum yang bukan dari aliran mereka). Adapun para syaikh dan shahibul ‘ahd yang telah mencapai taraf ma’rifah terbebas dari semua perintah dan larangan agama.
Syiah Nushairiyah tidak melaksanakan thaharah (kesucian) sebelum melaksanakan ritual-ritual ibadah mereka, seperti wudhu, tayamum, dan mandi wajib. Oleh karena itu mereka tidak melaksanakan shalat lima waktu, shaum Ramadhan, zakat, haji dan umrah ke tanah suci Makkah. Mereka menganggap haji ke baitullah di Makkah adalah bentuk kekafiran dan penyembahan berhala. Mereka juga tidak membangun masjid atau mushalla sebagai tempat ibadah. Ritual ibadah mereka diadakan di rumah-rumah atau tempat-tempat pertemuan khusus. Ritual ibadah mereka adalah para syaikh dan shahibul ‘ahd membacakan kisah-kisah dari para pendiri kelompok ini. Kemudian dilanjutkan dengan pesta khamr dan pesta seks.[55]
Mereka melaksanakan ibadah yang mereka sebut shalat, namun tata cara dan jumlah raka’atnya berbeda dengan shalat lima waktu kaum muslimin umumnya. Shalat mereka tidak disertai ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud, dan duduk tasyahud. ‘Shalat’ mereka hanya berdiri disertai pembacaan kisah-kisah riwayat dari para tokoh pendiri kelompok mereka. ‘Shalat’ Dhuhur mereka terdiri dari 8 rakaat, ‘shalat’ Ashar mereka terdiri dari 4 rakaat, ‘shalat’ Magrib mereka terdiri dari 5 raka’at, ‘shalat’ Isya’ mereka terdiri dari 4 raka’at, dan ‘shalat’ Shubuh mereka terdiri dari 2 raka’at.
Adapun dalam hal perayaan hari besar, kelompok Nushairiyah merayakan banyak hari raya, yang merupakan adopsi dari berbagai agama, Islam, Yahudi, Nashrani, Majusi, dan Yunani kuno. Diantara hari raya terpenting mereka adalah: [56]
a.    Hari raya Ghadir atau Ghadir Khum, merupakan hari raya seluruh kelompok Syi’ah, jatuh pada tanggal 18 Dzulhijah. Menurut mereka pada hari tersebut sepulang dari haji Wada’, di daerah Ghadir (3 km dari Juhfah) yang ditumbuhi banyak pohon Khum, Rasulullah SAW mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya, sebagaimana persaudaraan nabi Musa dan Harun. Seluruh kelompok Syi’ah merayakan malam Ghadir dan melaksanakan shalat dua raka’at pada keesokan harinya. Adapun kelompok Nushairiyah meyakini bahwa pada hari itu, Nabi SAW membaiat Ali sebagai khalifah sepeninggalnya.
b.    Hari raya Idul Fithri, jatuh pada tanggal 1 Syawwal. Perbedaannya, kelompok Nushairiyah tidak melaksanakan shaum Ramadhan sebulan penuh sebagaimana kaum muslimin. Maka perayaan hari Idul Fithri ala Nushairiyah tentu saja memiliki tatacara dan makna yang berbeda dengan perayaan kaum muslimin.
c.    Hari raya Idul Adha. Kaum muslimin merayakannya pada tanggal 10 Dzulhijah, namun kelompok Nushairiyah merayakannya pada tanggal 12 Dzulhijah. Lebih dari itu, mereka tidak mengakui ibadah haji.
d.   Hari raya ‘Asyura, jatuh pada tanggal 10 Muharram, dirayakan oleh seluruh kelompok Syi’ah sebagai peringatan atas terbantainya Husain bin Ali di padang Karbala’. Perbedaannya, kelompok Nushairiyah meyakini Husain belum terbunuh, hanya bersembunyi sebagaimana halnya Isa bin Maryam bersembunyi.
e.    Hari raya Ghadir Tsani, jatuh pada tanggal 9 Rabi’ul awwal. Mereka meyakini pada hari tersebut Nabi SAW mengumpulkan keluarganya (Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain), menyelimuti mereka dengan selimutnya dan menantang mubahalah (sumpah mati bagi pihak yang salah) rombongan utusan Kristen dari Najran. Kelompok Nushairiyah memperingatinya dengan melaksanakan shalat khusus lima waktu untuk kelima orang yang bermubahalah tersebut.
f.     Hari raya Nairuz, jatuh pada tanggal 1 Rabi’ul Awwal, merupakan hari raya tahun baru bangsa Majusi Persia.
g.    Hari raya Mahrajan, jatuh pada awal musim gugur, merupakan hari raya bangsa Majusi Persia.
h.    Hari raya Pantekosta. Pantekosta (dari Bahasa Yunani kuno: pentekostē yang berarti kelima-puluh) adalah hari raya Kristiani yang memperingati peristiwa dicurahkannya Roh Kudus kepada para rasul di Yerusalem, lima puluh hari setelah kebangkitan Yesus Kristus. Pada hari Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan sesuai dengan yang dijanjikan Yesus sesudah kenaikannya ke surga. Menurut Alkitab, murid-murid Yesus berhasil mempertobatkan tiga ribu jiwa pada hari tersebut dan hal inilah yang disebut dengan gereja mula-mula. Sebelumnya Pentakosta adalah hari raya besar orang yahudi yang kemudian diadopsi oleh gereja barat dan gereja timur. Pada hari ini, orang-orang Yahudi datang dari segala penjuru dunia ke Yerusalem untuk merayakan festival panen raya.[57]

4.    Komentar ulama Syiah Istna Asy’ariyah atau ulama Ahli Sunnah terhadap Nushariyah
Pada bagian terakhir dari pembahasan ini, akan dipaparkan komentar para ulama Syi’ah Istna Asy’ariyah dan ulama Ahlussunnah mengenai Syiah Nushairiyah yang tertulis dalam kitab-kitab mereka, dengan tujuan sebagai pedoman dalam memandang jati diri dari Syi’ah Nushariyah. 
a.    Komentar ulama Syiah Itsna Asy’ariyah
 Sedikitnya ada dua puluhan lebih dari ulama syiah Istna Asy’ariyah yang berkomentar. Namun akan dipaparkan lima saja sebagai contoh untuk bisa dijadikan acuan dalam memandang Syiah Nushairiyah,
Pertama, Syaik Muhammad Baqir bin Syaikh Muhammad Taqi Al-Majlisi lahir di Isfahan Iran pada tahun 1037 H. dan wafat tahun 1110 H. menulis dalam kitabnya Bihār al-Anwār menyatakan:[58]

ثم أحيى ذلك رجل اسمه محمد بن نصير النميري البصري زعم أن الله تعالى لم يظهر إلا في هذا العصر، وأنه علي وحده، فالشرذمة النصيرية ينتمون إليه، وهم قوم إباحية تركوا العبادات والشرعيات، واستحلت المنهيات والمحرمات، ومن مقالهم: أن اليهود على الحق ولسن منهم، وأن النصارى على الحق ولسنا منهم.
النصيرية : طائفة من الغلاة السبأية وملخص مقالتهم في الأئمة من أهل البيت عليهم السلام ، أنهم روح اللاهوت وقد نقل الشهرستاني في الملل والنحل تفصيل مقالاتهم ولقد افترى و أخطأ في عد هذه الطائفة من فرق الشيعة .

“Kemudian datanglah seseorang bernama Muhammad bin Nushair al-Numairi al-Bashri yang menghidupkan kembali ajaran-ajaran tersebut. Dia mengklaim bahwa Allah swt tidak muncul kecuali di zaman ini dan bahwa Allah adalah Ali itu sendiri. Maka sekelompok kecil dari sekte Nushairiyah menisbatkan diri kepadanya. Mereka adalah kaum Ibahiyyah (menghalalkan zina), meninggalkan ibadah dan ajaran-ajaran syari’at serta menghalalkan segala yang dilarang dan diharamkan. Diantara perkataan mereka: orang-orang yahudi berada diatas kebenaran tapi kita bukan bagian dari mereka, orang nasrani juga berada diatas kebenaran tapi kita bukan bagian dari mereka.”
“Nushairiyah tergolong sekte Saba’iyah ektrim. Intisari ajaran mereka tentang imam-imam ahlul bait, bahwa mereka adalah ruh lahut (tuhan). al-Syahrastani dalam kitabnya al-milal wa nihal menukil rincian ajaran-ajaran mereka. Tapi dia telah keliru ketika menganggap sekte ini sebagai bagian dari mazhab Syi’ah.”   

Kedua, Amad bin Alī bin Abī Ṭālib At-abrasī dalam Kitab al-Itijāj menyatakan:[59]
قال الطبرسي بعد ما ذكر أبا محمد الحسن الشريعى، قال : كذلك كان محمد بن نصير النميرى، من أصحاب أبي محمد الحسن عليه السلام، فلمّا توفّي ادّعى البابية لصاحب الزمان عليه السلام، ففضحه اللّه بما ظهر منه من الالحاد والغلوّ والتناسخ، وكان يدّعي أنه رسول نبيّ أرسله علي بن محمد عليه السلام، ويقول بالاباحة للمحارم.

“Demikian juga Muhammad bin Nushair al-Numairi, ia adalah sahabat abu Muhammad al-Hasan as. Setelah Hasan Askari meninggal ia mengklaim dirinya sebagai penghubung dengan shahibuzzaman (al-Mahdi as), sehingga Allah mengungkap keburukan, penyimpangan dan keekstrimannya serta keyakinannya tentang reingkarnasi. Dia juga mengklaim dirinya sebagai rasul dan nabi yang diutus oleh Ali bin Muhammad as. dan ia menghalalkan menzinahi mahram.”
Ketiga, Ibnu Thawus Al-Hillī dalam kitab al-Tharaif fī Ma’rifati Maẓāhib al-awā’if menyebutkan:[60]

قال عبد المحمود بن داود: ولقد جرى لعلي عليه السلام ما يناسب هذا، وأبغضته الخوارج حتى بهتوه وهم أكرهوه، وأحبته النصيرية حتى جعلوه إلها من دون الله .

“Abdul Mahmud bin Dawud berkata: Telah terjadi pada ali yang semacam akan hal ini. Orang-orang Khowarij membencinya bahkan membungkamnya dan memaksanya sementara orang-orang Nushairiyah dan menjadikannya sebagai tuhan selain Allah”
Keempat, Syādzāni bin Jibra’il Al-Qumi dalam kitab Ar-Raudhatu fi Fadhail Amiril Mu’minin menyatakan:[61]

النصيرية: طائفة من الغلاة السبأية ، وأنهم يدعون أن الأئمة من أهل البيت روح اللاهوت ” وقد نقل الشهرستاني في الملل والنحل وابن حزم وغيرهما تفصيل مقالاتهم، ولقد افترى الشهرستاني وابن حزم حيث عدو هذه الطائفة من فرق الشيعة .

“Nushairiyah adalah sekte sabaiyyah ekstrim mereka mengklaim bahwa para imam ahlul bait ruh tuhan, Syahrastani dalam Milal wa Nihal, Ibnu Hazam dan beberapa yang lainnya telah menukil rincian ajaran mereka. Tetapi Syahrastani dan ibnu hazam telah berdusta dan salah karena menganggap sekte ini karena bagian dari syi’ah.”
Kelima, Ali Al-Khaqani (w. 1334 H.) dalam kitab Rijal Al-Khaqani, Qum al-Muqaddas menyatakan,[62]

النصيرية هم من الغلاة أصحاب محمد بن نصير النميري ( لعنه الله ) وكان يقول : الرب هو علي بن محمد العسكري وهو نبي من قبله فأباح المحارم من النساء وأحل نكاح الرجال.
“Nushairiyah adalah sekte ekstrim pengikut Muhammad bin Nushair al-Numairi semoga dilaknat Allah. Ia berkata: “tuhan itu adalah Ali bin Muhammad al-Askari.” Sementara dia adalah rasul darinya. Lalu ia menghalalkan wanita-wanita mahram, menghalalkan menikahi laki-laki.”

b.   Komentar ulama Ahlussunnah wal Jama’ah
Pertama, Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah dalam kitab An-Nushairiyah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiah menyatakan:[63]

قال شيخ الإسلام ابن تيمية المتوفى سنة 728هـ: الحمد الله رب العالمين هؤلاء القوم المسمون بالنصيرية هم وسائر أصناف القرامطة الباطنية أكفر من اليهود والنصارى، بل وأكفر من كثير من المشركين، وضررهم على أمة محمد صلى الله عليه وسلم أعظم من ضرر الكفار المحاربين مثل كفار التتار والفرنج وغيرهم، فإن هؤلاء يتظاهرون عند جهال المسلمين بالتشيع ومولاة أهل البيت، وهم في حقيقة لا يؤمنون بالله ولا برسوله ولا بكتابه ولا بأمر ولا نهي ولا ثواب ولا عقاب ولا جنة ولا نار.

“Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam, sekte yang bernama nushairiyah dan juga sekte-sekte qaramithah bathiniyah lainnya lebih kafir dari yahudi dan nashrani, bahkan lebih kafir dari kebanyakan dari orang-orang musyrik. Bahaya mereka terhadap ummat Muhammad saw. Lebih besar dari pada bahaya orang-orang kafir yang memerangi mereka seperti bangsa tatar dan franj (orang-orang eropa) dan lain-lain. Karena mereka (nushairiyah) dihadapan orang-orang muslim yang jahil tampil seolah-olah mencintai dan membela ahlul bait, padahal sejatinya mereka tidak beriman kepada Allah, rasulnya dan kitabnya dan tidak percaya kepada perintah-perintah dan larangan Allah, pahala dan siksannya serta surga dan neraka.”
Kedua, Ibnu Katsir dalam kitab al-Istigotsah menyatakan[64]

قال الحافظ ابن كثير المتوفى سنة 774هـ: أما النصيرية فهم من الغلاة الذين يعتقدون إلهية علي و الغلاة أكفر من اليهود و النصارى.

Adapun Nushairiyah mereka adalah sekte ekstrim yang meyakini ketuhanan Ali,mereka lebih kafir daripada yahudi dan nashrani
Ketiga, Ibnul Qoyyim al-Jauzi dalam kitab Igatsat Luhfan min Mashayid Asy-Syaitan menyatakan:[65]

الخرمية: أصحاب بابك الخرمى. وهم شر طوائفهم، لا يقرون بخالق ، ولا معاد، ولا نبوة، ولا حلال، ولا حرام. وعلى مذهبهم : طوائف القرامطة، والإسماعيلية، والنصيرية، والبشكية، والدرزية، والحاكمية، وسائر العبيدية، وهم من أكفر الكفار

“Al-kharmiyah adalah pengikut babak al-Kharmi. Mereka adalah  seburuk-buruk sekte diantara sekte batiniah. Mereka tidak meyakini adanya pencipta, hari akhirat, kenabian, dan tidak meyakini adanya halal haram. Diatas ajaran merekalah sekte-sekte Qaramithah, Isma’iliyah, Nushairiyah, Basykiyah, Duruziyah, Hakimiyah, dan semua sekte-sekte abidiyah. Dan Mereka adalah sekafir-kafir orang kafir.” 
Keempat, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani dalam kitab Lisan al-Mizani menyatakan:[66]
عتاة الرَّفض اللذين يقولون : علي هو الله فمن وصل إلى هذا فهو كافرٌ لَعِينٌ من إخوان النصارى وهذه هي نحلة النُّصَيْرِية 
“Termasuk diantara kesombongan kaum Rafidhah, mereka mengatakan, ‘Ali adalah Allah’. Barang siapa berkeyakinan sampai seperti ini maka dia kafir, terlaknat teman-temannya orang Nasrani. Dan itulah dia agama Nushairiyah”

C.  PENUTUP
Dari pemaparan diatas, dilihat dari sejarah Syi’ah Nushairiyah merupakan turunan dari syiah Istna ‘Asy’ariyah. Namun karena perbedaan faham tentang kedatangan imam mereka yang terakhir, Syi’ah Nushairiyah akhirnya memisahkan diri. Walaupun demikian, syiah Nushairiyah masih berpegang pada sebagian ajaran yang dianut oleh syiah Istna Asy’ariyah.
Perbedaan antara syi’ah Nushairiyah dengan syi’ah Istna ‘Asy’ariyah sebenarnya bukan hanya pada hal furu’iyah (cabang) ajarannya saja, tapi sudah masuk ke ranah akidah (keyakinan) sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam tubuh syi’ah saja secara umum terjadi perbedaan yang begitu tajam dan serius, apalagi kalau dibandingkan dengan faham yang dianut Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah), tentu akan semakin jauh perbedaannya terutama dalam hal aqidah dan ajarannya. Oleh karena itu, sebagai penegasan akan permasalahan ini bahwa Sunni tidak sama dengan Syi’ah secara umum dan (sangat) tidak sama dengan Syi’ah Nushairiyah secara khusus.