Senin, 18 Mei 2015

Merindukanmu kembali


Hatiku
Hatiku
mengapa selalu kembali pada satu titik hitam yang beracun
kenapa selau terulang kembali
sekarang berkata insyaf
nanti kembali lagi
lagi berkata insyaf
tak lama terulang lagi
hati saya berkata, ‘saya faham dengan masalah saya’
tapi saya tidak tahu fahamnya seperti apa namanya
faham yang tidak menjadikannya benar-benar insyaf
insyaf dikala insyaf, tapi dikala insyaf tiada, kembali lagi
insyafnya hanya beberapa menit saja
insyafnya tak berwarna
akankah karena dosa yang sudah sangat bergitu tebal
hingga semua insyaf tak berbekas
dosa-dosa itu mengarat kuat melapisi dinding cahaya
cahayanya redup tertutup lempengan-lempengan hitam
cahaya ituterus meredup
hingga ia seperti titik putih pada lumpur hitam yang menyamudra
saya yakin cahaya itu tidak akan padam walaupun ia hanya setitik
ia hanya menunggu sebuah asa kuat yang mengusapnya
hingga akhirnya ia kembali terang menyinari semua kegelapan

hatiku saya rindu keinsyafan abadimu 

Minggu, 17 Mei 2015

Andai Umat Islam Indonesia Seperti Umat Budha Myanmar


Umat Islam Indonesia
Umat Islam Indonesia 
Kalimat judul ini terkesan profokatif dan ekstrim, namun ini merupakan bentuk keprihatinan dan simpati atas fenomena yang terjadi di Myanmar. Hampir semua dunia internasional terdiam membisu. Para aktifis HAM di seluruh penjuru dunia bungkam tak berkutik. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang katanya memiliki peran penuh terhadap perdamaian dunia bak pak tua tak bergigi. Amerika Serikat yang katanya negara super power yang memerangi semua tindakan krimilal bak Beruang hutan yang tak berkuku. Katanya juga semua agama di dunia membenci kekerasan dan penindasan, kini terkunci dalil-dalinya. Semua terdiam menonton pemandangan nyata di depan matanya. Saya tidak tau apakah pandangan nyata yang terjadi sudah berubah menjadi tontonan drama seperti di bioskop dan tontonan drama berubah menjadi pemandangan nyata sehingga menjadikannya menangis tersedu-sedu dengan alur semu-nya. Sungguh aneh membingungkan.
Indonesia dari dulu terkenal dengan ketenangan dan ketentramannya, padahal berbagai macam spesies, marga, suku, adat dan agama hidup di dalamnya. Semuanya hidup berdampingan dengan rukun dan aman. Hingga wajar banyak bangsa lain ingin menjajah dan menguasai indonesia karena mereka juga merasa aman menjajah indonesia, dan terbukti negara belanda telah berabad-abad menjajah indonesia dengan amannya.
Sampai sekarang indonesia masih aman. Tidak pernah terdengar di telinga berita kekerasan dan pelecehan seperti yang terjadi di Amerika, jerman, rusia terhadap kelompok agama tertentu. Apalagi seperti yang terjadi di myanmar saat ini. Kayaknya itu sesuatu yang mustahil terjadi. Padahal negara indonesia didominasi oleh satu agama besar dengan jumlah populasi 85% dari semua agama dan rakyat indonesia.
Tidak ada yang menyangkal bahwa islam-lah agama yang terbesar di Indonesia, agama islam sudah ada berabad-abad tahun lamanya. Dalam sejarah perjalanan islam indonesia tidak pernah terdengar islam mengintimidasi agama atau keyakinan yang lebih kecil populasinya. Adapun jika terjadi, itu lebih disebabkan karena faktor penistaan dan penghinaan terhadap nilai-nilai yang ada dalam islam bukan disebabkan karena perbedaan keyakinan atau kepercayaan. Itupun jika tejadi gesekan tidak pernah terjadi seperti separah di Myanmar atau negara yang lainnya. Andaikan penistaan itu tidak ada maka gesekan itupun akan berkurang dan bahkan tidak akan terjadi. Kita bisa lihat dan baca semua sejarah perjalanan islam di Indonesia. .
Kembali kepada pembicaraan awal. Di kala Muslim Rohingya dibantai, dibakar dan diusir dari kampung halamannya tidak ada satupun negara, agama, ataupun lembaga kemanusiaan yang menjadikannya perhatian khusus kemudian memberikan solusi atas konflik yang terjadi disana. Seakan-akan semuanya sengaja membiarkan fenomena ini. Bahkan dikala mereka terombang-ambing di atas samudra tidak ada negara yang berkenan menerimanya. Semua memasang bala tentaranya untuk mengusirnya menjauh dari negaranya. Sangat malang nasip mereka.
Di indonesia, disaat muslim Rohingya mencari suaka kepada pemerintah, tidak ada agama, kelompok dan aktifis kemanusiaan seperti ham membela dan memperjuangkan mereka. Semua terdiam membisu, padahal mereka menyaksikan mereka (muslim Rohingya) dalam kesulitan dan penderitaan. Lebih menyakitkan lagi, di saat mereka dikabarkan hendak diusir untuk pergi, tidak ada satupun dari pihak yang disebutkan tadi yang tergerak hatinya untuk menahannya walau hanya beberapa hari.

“Andai Umat Muslim Indonesia Seperti Umat Budha Myanmar”.   

Sabtu, 16 Mei 2015

Pengantar Ilmu Bahasa


Bahasa Arab
Belajar Bahasa Arab
Untuk memahami suatu bahasa, – bahasa apapun itu – tidak cukup hanya memahami satu unsur atau komponen dari bahasa tersebut, namun hendaknya memahami semua unsurnya secara keseluruhan. Jika diibaratkan seperti seseorang membeli sepeda motor, tidak mungkin ia hanya membeli dan mengambil ban motornya saja atau hanya setang motornya saja, tapi hendaknya ia membawa semua komponennya secara sempurna, kemudian baru motornya bisa digunakan. Bergitu pula dengan bahasa.
Bahasa (khususnya bahasa arab) tidak hanya ilmu nahwu saja, tidak hanya sharaf saja atau komponen bahasa arab yang lainnya. Namun bahasa arab adalah keseluruhan dari komponen tersebut. Merupakan pandangan keliru jika ada seseorang ingin belajar ilmu nahwu supaya dia pakar dalam ilmu nahwu atau belajar sharaf supaya pakar dalam ilmu sharaf. Namun seharusnya, ia belajar ilmu nahwu, sharaf atau unsur bahasa arab yang lain dengan tujuan supaya ia mahir dalam bahasa arab, baik itu dari sisi keterampilan berbicara, membaca, menulis dan mendengar bahasa arab.
Ada sebagian pondok hanya menonjolkan satu atau dua aspek saja dari komponen bahasa arab dalam pendidikannya. Ada juga yang menekankan tiga sampai lebih dari aspek bahasa dalam pendidikannya, namun tidak mensinergikan antara semua komponen tersebut, sehingga masing-masing komponen terkesan berdiri sendiri yang mengakibatkan kesalahan dalam berbahasa arab.
Setandar umum yang mesti dicapai dalam pembelajaran bahasa arab adalah ada empat keterampilan yaitu, keterampilan mendengar (الإستماع), keterampilan berbicara (الكلام), keterampilan membaca (القراءة) dan keterampilan menulis (الكتابة). Tidak boleh memparsialkan masing-masing keterampilan karenanya kesemuanya sudah built in dalam tubuh bahasa arab.

Kembali penulis pertegas bahwa suatu ilmu yang dipelajari bukan hanya untuk memahami ilmu itu sendiri, namun bagaimana kita mengaitkannya atau memadukannya dengan ilmu yang lain hingga menjadikannya lebih bermanfaat dan berguna, terlebih lagi ia masih dalam satu tubuh. 

Jumat, 15 Mei 2015

Prediksi Iman

Dua Rupa
Antara Dua Rupa

Setidaknya dari ucapan seseorang kita bisa membaca tingkat keimanan seseorang. Walaupun tidak seratus persen benar, namun bisa menjadi acuan standar dari kuat atau berkurangnya iman seseorang. Sebagai contoh dari statement saya ini adalah, ketika anda menanyakan kepada seseorang suatu pertanyaan, pasti jawaban mereka bermacam-macam, contoh pertanyaan: ‘Kenapa gak sholat ke masjid tadi?’. Dari pertanyaan ini, orang akan berbeda-beda jawabannya. Kira-kira diantara jawaban mereka adalah sebagai berukut:
o  Tadi saya ketiduran. Saya gak dengar suara azan, makanya gak ke masjid.
o  Ada kerjaan tadi. Tapi sudah saya shalat di rumah.
o  Iya, saya keendakan main-main tadi sama teman.
o  Sholat jamaah itu kan sunnah. Jadi boleh sholat sendirian di rumah.
o  Saya lagi malas. Saya sudah shalat di rumah.
o  Shalat itu kan, gak wajib. Jadi kamu gak perlu nanya-naya gitu dah.
Dari sekian pernyataan ini, setidaknya pembaca bisa memprediksi tingkat/kualitas keimanan seseorang. Apa yang diucapkan oleh lisan seseorang adalah gambaran dari apa yang ada di dalam hati, dalam hal ini adalah keimanan. Dari jawaban pertama hingga akhir, bisa diprediksi bahwa jawaban pertama menunjukkan keimanan seseorang masih kuat. Sedangkan jawaban terahir menunjukkan tidak adanya keimanan seseorang. Sedangkan jawaban yang lainnya bisa diprediksi sendiri. 
Sekali lagi penulis tergaskan bahwa, ini bukan setandar mutlak. Namun ini salah satu cara mengetahui ukuran keimanan seseorang. Kita juga tidak bisa menjudge tingkat keimanan seseorang hanya berdasarkan ucapannya. Namun perlu pembuktian yang lain juga sehingga dasar penjudge-annya kuat. Ini hanya penilaian pribadi kepada seseorang atau pada diri kita sendiri saat menemukan pertanyaan semisal.
Dalam masalah-masalah yang lain pun kita bisa membaca kondisi, watak atau keperibadian seseorang dari ucapannya sehari-hari.


(view inspiration, Allahumma tsabbit qulubana ‘ala syukrika wa tho’atika)

Tersadar Kembali


Perpustakaan
Perpus UNIDA Gontor
Hampir setiap hari saya berusaha untuk belajar dan belajar. Setelah belajar atau membaca, saya berusaha untuk menggoreskan polpen saya di kertas atau langsung menulis di lebtob, namun hasilnya tetap mentok, mentok dan mentok. Berulang kali saya melakukan hal yang sama, tapi hasilnya tidak jauh berbeda. Saya merasa putus asa dan stress dengan aktifitas saya yang tidak pernah mengalami perkembangan dan kemajuan.
Saya teringat dengan masa lalu yang telah saya jalani. Saya mulai menyalahkan diri saya, menyalahkan keadaan, menyalahkan keluarga saya, menyalahkan sekolah saya, menyalahkan orang dan lain sebagainya.. Terlintas dalam pikiran sempit saya, ‘seandainya dulu saya tidak disana/seandainya saya tidak dalam kondisi ini, dan andai-andai yang lainnya. Saya pun menyesali dan meratapi nasip saya sendiri, hingga saya terpaku dan terlena dalam ratapan saya sendiri.
Memang berat untuk berhenti mengingatnya, karena kelitannya itulah sumber dari semua keadaan yang membuat saya terpuruk dan terkapar ini. Namun serasa saya tersadar kembali akan diri saya sendiri. Menyadari hakikat hidup yang sebenarnya pernah saya dapatkan dan fahami, tapi terkalahkan oleh memori kehidupan masa lalu.
Mendengar ceramah Ust. Dr. H. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi menyadarkan saya kembali akan kehidupan ini. Terlalu sering saya menimbang dan mengukur kehidupan ini dengan akal dan hitungan materi atau fisik. Saya keseringan melihat orang yang lebih (kemampuan/materi) dari saya dari pada melihat diri saya sendiri kemudian membenahi. Pikiran saya terlalu menrasionalkan kondisi sehingga menjadikan segala sesuatu menjadi seolah-olah tidak mungkin untuk saya lakukan. Saya selalu mengukur kondisi diri saya dengan kondisi orang lain. Sehingga yang terpikir adalah sulit dan bahkan gak mungkin untuk sampai ketujuan yang dicita-citakan.
Lebih memprihatinkannya lagi, saya lupa dan tidak menyadari sekaligus masih meragukan” akan ke Maha Agungan Sang Pencipta yang pengatur segala-galanya yaitu, Allah SWT. Sekali lagi, saya terlena dan terbuai oleh pikiran sempit saya sehingga saya lupa bahwa ada Dia diatas alam jagat raya ini beserta isinya. Astagfirullahal’adziim…
Diantara bentuk kelupaan dan keraguan tersebut adalah ketika berdo’a, hampir semuanya dalam keadaan ragu dengan do’a yang dipanjatkan, alias kurang meyakini akan terkabulnya do’a tersebut. Masih ada banyang-banyang ketidakmungkinan yang digemboskan oleh pikiran saya sehingga saya kurang berharap akan terkabulnya do’a saya. Ketika beribadah – khususnya shalat – fardu, saya dalam keadaan sadar atau tidak sadar dengan ibadah saya. Apakah ini sekedar rutinitas untuk menghilangkan kewajiban saja atau memang bentuk penghambaan saya kepada Allah di karenakan kelemahan dan kekurangan saya. Iya, saya sadar dengan ibadah saya, tapi saya tidak menyadari hakikat dari ibadah saya ditambah lagi kurang meyakini dampak dari ibadah itu terhadah hidup saya. Kembali saya tersadarkan dengan ceramah Ust. Dr. H. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi..
Ceramahnya simpel sebenarnya, namun menyadarkan saya akan ke Maha Agungan Allah Subhanahuwata’ala. Diantara yang disinggung beliau juga adalah orang islam yang tidak meyakini kekuatan do’a adalah orang islam yang sangat picik dan sempit hati dan pikirannya. Banyak bukti nyata yang sudah merasakan kekuatan do’a. orang yang awalnya masalah dalam hidupnya, karena do’a yang dipanjatkannya dengan penuh keyakinan dan terus-menerus melakukannya, sehingga masalahnya terselesaikan. Tentunya tidak terlepas dari usaha sungguh-sungguh untuk berkerja setelah berdo’a. Ada juga orang yang selalu berdo’a, kemudian usahanya cuman sekedarnya saja, tapi semua masalahnya terselesaikan. Ini juga disebabkan karena berkah do’a. bahkan ada juga orang yang hanya berdo’a saja dengan terus menerus tanpa berusaha dan masalahnya terselesaikan. Ini juga berkah dari do’a. intinya Allah SWT menyuruh kita untuk banyak-banyak berdo’a kepada-Nya, karena Dia-lah yang memungkinkan yang tidak mungkin dan mengadakan yang tidak ada.
Terakhir, setiap usaha, baik itu belajar, bekerja mencari rizki dan lain sebagainya, hendaklah diawali dengan keyakinan akan diberikan kemudahan oleh Allah. Kemudian barengi ia dengan keikhlasan dan kesabaran dalam melakukannya. Ketika seseorang belum mendapatkan apa yang diharapkan, berarti ia harus menunggunya dengan melalui/menjalani proses yang mesti dilaluinya, oleh karena itu kesabaran harus tetap dipupuk dalam diri kita.

(paska pusing memikirkan tesis. Jum’at malam, 15-05-2015)


Rabu, 06 Mei 2015

Hanya Untuk Islam

Potensi Diri
Menggali Potensi Diri

Seorang muslim sejati bukanlah seorang yang dari lahir sampai wafatnya tetap dalam keislamannya atau dari sejak lahir hingga wafatnya tidak pernah tercatat dalam jejak hidupnya menentang, mencela atau menodai islam, artianya ia tetap istiqomah dalam keislamannya. Namun muslim sejati adalah muslim yang mengabdikan segala potensi dirinya kepada islam.
Agama islam adalah agama dengan jumlah penganut terbesar di dunia. Dimana-mana kita dapat menemui orang islam. Bahkan dibeberapa Negara, islam menjadi agama mayoritas penduduknya. Banyaknya orang islam di seluruh dunia sangat disanyangkan, karena tidak diimbangi dengan banyaknya orang-orang islam yang benar-benar dengan keislamannya.
Mengambil contoh dari agama islam di Indonesia. Islam di Indonesia adalah agama mayoritas dari segi kuantitas, namun menjadi agama minoritas dari segi kualitas. Secara hitung-hitungan kita menjadi yang terbanyak, tapi ketika dicari hasilnya kita menjadi yang sedikit. Hampir disegala sisi, orang islam mengisi semua posisi, namun orang islam yang mengisi tersebut tidak terisi dengan nilai-nilai islam. Sehingga sama saja islam hanya sekedar rupa, tampang dan penampakan, tapi sejatinya bukan.
Muslim sejati merupakan orang islam yang tidak hanya dari sisi zahirnya ia islam, tapi juga batin dan amalannya juga islam. Bila sedikit diamati tingkatan dari orang islam, ada tiga tingkatan orang islam: pertama, orang islam yang islam dari zahirnya saja. kedua, orang islam yang islam dari sisi zahir dan batinnya, ketiga orang islam yang islam dari segi zahir, batin dan amalnya. Dari ketiga tingkatan ini, orang islam yang islam zahir, batin dan amalannya yang dikatakan orang islam sejati.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa muslim sejati adalah muslim yang mengabdikan segala potensi dirinya kepada islam artinya dia mencurahkan segala potensi yang ada dalam dirinya dimanfaatkan dan digunakan untuk memperjuangkan dan membela islam, baik itu tenaga, fikiran atau fasilitas yang dimilikinya. Ketika ia tidak mampu berkorban dengan tenaganya maka ia menggunakan fasilitas yang dimilikinya untuk islam, ketika kedua-duanya tidak dimilikinya maka ia menggunakan fikirannya untuk islam, dan justru ini lebih besar manfaatnya bagi islam.
Membicarakan fikiran atau akal manusia, – yang akan kita kaitkan dengan islam nantinya – tidak akan pernah ada ujungnya, maksunya potensi yang satu ini sungguh luar biasa. sudah banyak yang menelitinya namun tidak ada habis-habisnya karena yang menelitinya pun menggunakannya. Ada sebuah ungkapan orang arab yang menggambarkan kehebatan fikiran, ‘biarpun raga dipasung, dipenjara dan dikurung karena ulahnya fikirannya, namun tetap saja fikiran tidak bisa dipasung, ia bebas bergerak kemana saja ia suka. Biarpun tubuh dibatasi dengan dinding yang begitu tebal dan tinggi menjulang namun fikiran justu telah menuembus segala batasan dan jarak yang menhalangi tubuh.
Potensi fikiran yang begitu dahsyat ini sangat bisa dimanfaatkan oleh seorang muslim untuk memperjuangkan dan membela islam. Apalagi saat ini islam tidak hanya berperang dari segi fisik saja tapi islam berperang selalu dan setiap saat berperang dengan pemikiran. Perang ini justru akan lebih berhaya dan massif sipatnya bila tidak diatasi. Seorang muslim hendaknya mulai menuangkan fikirannya dalam bentuk tulisan dalam bentuk artikel-artikel rinagan sampai yang berat, baik di Koran, majalah, jurnal atau buku, hingga memberikan pemahaman tentang islam kepada orang islam ataupun luar islam.

(Dalam keresahan menulis tesis)