Jumat, 19 Desember 2014

Tela'ah Kritis Hadits Mengusap Wajah Setelah Shalat



Mengusap muka setelah sholat
Mengusap muka setelah sholat
Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat, bahwa setiap selesai salam ketika shalat akan mengusap wajah mereka dengan telapak tangan kanan. Sebagian menganggap dan mengatakan bahwa perbuatan tersebut ada dalam hadits Rasulullah SAW. dan sebagian yang lain juga hanya ikut-ikutan saja karena perbuatan itu telah dilakukan dan mereka dilihat atau dapatkan dari guru-guru mereka ataupun orang tua terdahulu. Namun yang jadi pertanyaan kita adalah bagaimanakah kedudukan hadist tersebut? apakah shahih, hasan, da’if dan lain sebagainya. Maka oleh karena itu, masalah ini perlu untuk diketahui dan dipahami bersama supaya kita di dalam melaksanakan syari’at islam benar-benar menjalankannya sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya.
Dalam hal ini ada dua hadits yang sering dijadikan landasan oleh mereka yang mengusap mukanya setelah shalat.
Hadits pertama. Hadits dari Anas bin Malik:
أَخْبَرَنَا سَلْمُ بْنُ مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَنْبَسَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ الْحَوْضِيُّ، حَدَّثَنَا سَلَّامٌ الْمَدَائِنِيُّ، عَنْ زَيْدٍ الْعَمِّيِّ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَضَى صَلَاتَهُ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى، ثُمَّ قَالَ: «أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ»
“Adalah Rasulullah SAW. jika telah selesai shalat, maka Beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya, kemudian berkata: “Aku bersaksi tiada Ilah kecuali Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan dan kesedihan.”[1]
Berikut ini adalah paparan pendapat para ulama mengenai hadits di atas sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab mereka.
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata dalam Fath al-Bari:
وله طرق عن أنس ،كلها واهية .
“Hadits ini memiliki banyak jalan dari Anas bin Malik, namun semuanya lemah.”[2]
Dikatakan juga dalam kitab yang sama bahwa alasan mereka tidak mengusap wajah karena hal itu dimakruhkan sebagaimana makruhmya mengelap bekas air wudu’ setelah berwudu’ dan menggosok gigi untuk menghilangkan bau mulut saat berpuasa.[3] 
Dalam kitab Syaikh Nashiruddin Al-Albani dikatakan, cacatnya hadits ini lantaran dua perawi hadits tersebut yaitu Salam Al-Madaini dan Zaid Al-‘Ami. Salam Al-Madaini adalah orang yang dituduh sebagai pendusta, sedangkan Zaid Al-‘Ami adalah perawi dhaif. Oleh karena itu, Albani mengatakan, sanad hadits ini palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya yang juga dhaif. Namun secara global, hadits ini dhaif jiddan.[4]
Sementara, Imam Al-Haitsami mengutip dari perkataan Al-Bazzar, bahwa Salam Al-Madaini adalah orang yang layyinul hadits (haditsnya lemah)[5] dan kitab yang sama Al-Haitsami juga menyatakan bahwa Zaid Al-‘Ami adalah dhaif (lemah).[6] Imam Al Baihaqi juga menyatakan bahwa Zaid Al-‘Ami adalah dhaif.[7] begitu pula komentar Imam Al-‘Iraqi menyatakan hal serupa.[8]
Al-‘Allamah Al-Sakhawi mengatakan, lebih dari satu orang yang menilai bahwa Zaid Al-‘Ami adalah tsiqah (bisa dipercaya), namun Jumhur (mayoritas) Ulama’ menilainya dhaif.[9]
Sedangkan Imam Al-Nasa’i mengatakan Zaid Al-‘Ami sebagai laisa bi al-qawwi (bukan orang kuat hafalannya).[10] begitu pula kata Imam Abu Zur’ah dalam kitab Al-Jarh wat Ta’dil menyatakan hal yang serupa.[11]
Namun hanya Imam Ahmad yang menilai Zaid Al-‘Ami sebagai orang yang tsiqah.[12] Dalam kitab lain Imam Ahmad menyatakannya: Orang yang shalih (baik).[13]
Hadits kedua. Dari Anas bin Malik ra.:
ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَمَّادٍ الطِّهْرَانِيُّ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ يَزِيدَ الْجَصَّاصُ، ثنا دَاوُدُ بْنُ الْمُحَبَّرِ، ثنا الْعَبَّاسُ بْنُ رَزِينٍ مُصْطَفَى السُّلَمِيُّ، عَنْ جُلَاسِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَضَى صَلَاتَهُ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى، ثُمَّ أَمَرَّهَا عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى يَأْتِيَ بِهَا عَلَى لِحْيَتِهِ وَيَقُولُ: «بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْغَمَّ وَالْحَزَنَ وَالْهَمَّ، اللَّهُمَّ بِحَمْدِكَ انْصَرَفْتُ وَبِذَنْبِي اعْتَرَفْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اقْتَرَفْتُ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ بَلَاءِ الدُّنْيَا وَمِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ»
“Adalah Rasulullah Shallalllahu ‘Alaihi wa Sallam jika telah selesai shalatnya, beliau mengusap dahinya dengan tangan kanan, kemudian ilanjutkan ke wajah sampai jenggotnya. Lalu bersabda: “Dengan nama Allah yang Tidak ada Ilah selain Dia, yang Maha Mengetahui yang Ghaib dan Yang Tampak, Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan, kesedihan, dan keresahan. Ya Allah dengan memujiMu aku beranjak dan dengan dosaku aku mengakuinya. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan yang telah aku akui, dan aku berlidung kepadaMu dari beratnya cobaan kehidupan dunia dan siksaan akhirat.”[14]
Menurut Imam Al-Bukhari hadits tersebut dhaif (lemah) karena di dalam sanadnya terdapat Daud Al-Mihbar pengarang kitab Al-‘Aql. Ia juga berkata: munkarul hadits. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan: Dia tidak diketahui apa itu hadits.[15]
Al-Hafizh Al-Zarkili mengatakan mayoritas ulama menilainya dhaif.[16]
Ali Maldini mengatakan bahwa Daud al-Mihbah ini haditsnya telah hilang. Abu Zur’ah dan lainnya mengatakan: dhaif (lemah). Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan). Abu Hatim mengatakan: haditsnya hilang dan tidak bisa dipercaya. Ad Daruquthni mengatakan bahwa Daud Al Mihbar dalam kitab Al ‘Aql telah memalsukan riwayat Maisarah bin Abdi Rabbih, lalu dia mencuri sanadnya dari Maisarah, dan membuat susunan sanad bukan dengan sanadnya Maisarah. Dia juga pernah mencuri sanad dari Abdul Aziz bin Abi Raja’, dan Sulaiman bin ‘Isa Al Sajazi.[17] Abu Hatim juga mengatakan: munkarul hadits.[18]
Bahkan, Syaikh Al Albani dengan tegas mengatakan sanad hadits ini adalah maudhu’ (palsu) lantaran perilaku Daud yang suka memalsukan sanad ini. Beliau mengatakan Daud adalah orang yang dituduh sebagai pendusta. Sedangkan untuk Al Abbas bin Razin As Sulami, Syaikh Al Albani mengatakan: “aku tidak mengenalnya.”[19]
Walaupun hadits-hadits ini sangat lemah dan tidak boleh dijadikan dalil, namun telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang mengusap wajah jika sekadar untuk membersihkan bekas-bekas sujud, seperti pasir, debu, tanah, dan lainnya. Di antara mereka ada yang membolehkan, ada juga yang memakruhkan.
Al-Hafizh Al-Imam Ibnu Rajab ra. mengatakan:
فأما مسح الوجه من أثر السجود بعد الصلاة ، فمفهوم ما روي عن ابن مسعودٍ وابن عباسٍ يدل على أنه غير مكروهٍ.
وروى الميموني ، عن أحمد ، أنه كان اذا فرغ من صلاته مسح جبينه .
“Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah shalat selesai, maka bisa difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh. Al-Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia mengusap dahinya jika selesai shalat.”[20]
Sebagian ulama lain memakruhkannya, bahkan mengusap wajah merupakan penyebab hilangnya doa pengampunan yang dipanjatkan malaikat untuk manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab berikut:
وكرهه طائفة ، لما فيه من إزالة أثر العبادة ، كما كرهوا التنشيف من الوضوء والسواك للصائم  .
وقال عبيد بن عميرٍ : لا تزال الملائكة تصلي على إلانسان ما دام أثر السجود في وجهه .
خَّرجه البيهقي بإسنادٍ صحيحٍ .
وحكى القاضي أبو يعلي روايةً عن أحمد ، أنه كان في وجهه شيء من أثر السجود فمسحه رجل ، فغضب ، وقال : قطعت استغفار الملائكة عني . وذكر إسنادها عنه ، وفيه رجل غير مسمىً .
وبوب النسائي ((باب : ترك مسح الجبهة بعد التسليم )) ، ثم خرج حديث أبي سعيد الخدري الذي خَّرجه البخاري هاهنا ، وفي آخره : قال ابو سعيدٍ : مطرنا ليلة أحدى وعشرين ، فوكف المسجد في مصلى النبي – صلى الله عليه وسلم، فنظرت إليه وقد انصرف من صلاة الصبح ، ووجهه مبتل طيناً وماءً .
“Sekelompok ulama memakruhkannya, dengan alasan hal itu merupakan penghilangan bekas-bekas ibadah shalat, sebagaimana mereka memakruhkan mengelap air wudhu (dibadan) dan bersiwak bagi yang berpuasa. Berkata ‘Ubaid bin ‘Amir: “Malaikat senantiasa bershalawat atas manusia selama bekas sujudnya masih ada di wajahnya.”[21]
Al Qadhi Abu Ya’la menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa ada bekas sujud di wajahnya lalu ada seorang laki-laki yang mengusapnya, maka beliau pun marah, dan berkata: “Kau telah memutuskan istighfar-nya malaikat dariku.” Abu Ya’la menyebutkan sanadnya darinya, dan didalamnya terdapat seseorang yang tanpa nama.[22]
Imam An Nasa’i membuat bab: Meninggalkan Mengusap Wajah Setelah Salam. Beliau mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Said Al Khudri, yang telah dikeluarkan pula oleh Imam Bukhari di sini, di bagian akhirnya berbunyi: Berkata Abu Said: “Kami kehujanan pada malam ke 21 (bulan Ramadhan), lalu air di masjid mengalir ke tempat shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kami memandang kepadanya, beliau telah selesai dari shalat subuh, dan wajahnya terlihat sisa tanah dan air.”[23]

Kesimpulan
Dari pemaparan dan penjelasan para ulama di atas maka kita dapat simpulkan bahwa hadits tentang mengusap muka setelah shalat adalah dhaif (lemah) menurut jumhur ulama, sehingga langkah yang diambil oleh seorang muslim untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang belum jelas perintahnya dari Rasulullah adalah meninggalkan perbuatan tersebut yaitu mengusap muka setelah shalat. Adapun khilaf (perbedaan) yang terjadi adalah khilaf pada sebagian kecil saja, sehingga hal itu tidak bisa dijadikan pegangan  dan acuan yang kemudian mengalahkan pendapat yang lebih banyak (jumhur ulama). 









DAFTAR PUSTAKA


Sunni, Ibnu, ‘Amalul Yaum wal lailah li Ibni Sunni, (Maktabah Syamilah)
Al-Hambali, Ibnu Rajab, Fath al-Bari, (Maktabah Syamilah)
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhu’ah, (Maktabah Syamilah)
Al-Haitsami, Imam, Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawa’id, (Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Al-Turkumani, Ibnu, Al-Jauhar al-Naqii, (Maktabah Syamilah)
Al-Iraqi, Takhrij Ahādits Ihyā ‘Ulum al-Din, (Maktabah Syamilah)
Al-Sakhawi, Al-Maqāshid Al-Hasanah, (Maktabah Syamilah)
Al-Zaila’i, Al-Hafizh, Nashbur Rayyah, (Maktabah Syamilah)
Al-Nuri, Abu al-Fadhl Al-Sayyid Al-Ma’athi, Al Musnad Al Jami’, (Maktabah Syamilah)
Al-Razi, Abdurrahman bin Abi Hatim, Al-Jarh wat Ta’dil, (Maktabah Syamilah),
Al-Mubarrad, Ibnu, Bahr al-Dam, (Maktabah Syamilah)
Nu’aim, Abu, Tārikh Ashbahān, (Maktbah Syamilah)
Al-Bukhari, Imam, Al-Tārikh Al Kabir, (Maktabah Syamilah)
Al-Bukhari, Imam, Al-Dhu’afa Al-Shaghir, (Maktabah Syamilah)
Al-‘Uqaili, al-Dhu’afa li al-Uqaili,  (Maktabah Syamilah)
Al-Zarkili, Khairuddin, Al-A’lam li al-Zarkili, (Maktabah Syamilah)
Al-Dzahabi, Mizan Al-I’tidal, (Maktabah Syamilah)
Hatim, Abdurrahman bin Abi, Al-Jarh wa al-Ta’dil, (Maktabah Syamilah)
Al-Hambali, Ibnu Rajab, Fathul Bari, (Maktabah Syamilah)  





[1] HR. Ibnu Sunni, no. 112, ‘Amalul Yaum wal lailah li Ibni Sunni, Bab. Mā Yaqulu fi Duburi Shalāt (Maktabah Syamilah), Jilid. 1, hal. 101

[2] Imam Ibnu Rajab Al-Hambali, Fath al-Bari, Bab. Man Lam Yamsah Jabhatahu wa Anfahu Hatta Shalla, (Maktabah Syamilah), Jilid. I, hal. 360.
[3] Ibid.
[4] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, No. 1058, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhu’ah, (Maktabah Syamilah), Jilid. 3, hal. 171
[5] Imam Al-Haitsami, No. 16972, Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawa’id, (Darul Kutub Al ‘Ilmiyah), Jilid.10, hal. 110.
[6] Ibid. hal. 230
[7] Ibnu At Turkumani, Al-Jauhar al-Naqii, (Maktabah Syamilah), Jilid. 3, hal. 46
[8] Al-Iraqi, Takhrij Ahādits Ihyā ‘Ulum al-Din, (Maktabah Syamilah), Jilid. 2, hal. 752
[9] Al-Sakhawi, Al-Maqāshid Al-Hasanah, (Maktabah Syamilah), Jilid. 4, hal. 486
[10] Al-Hafizh Al-Zaila’i, Nashbur Rayyah, (Maktabah Syamilah), Jilid. 7, hal. 185. Lihat juga: Abu al-Fadhl Al-Sayyid Al-Ma’athi Al-Nuri, Al Musnad Al Jami’, (Maktabah Syamilah), Jilid. 14, hal. 132
[11] Abdurrahman bin Abi Hatim Al-Razi, Al-Jarh wat Ta’dil, (Maktabah Syamilah), Jilid. 3, hal. 561
[12] Al-Sakhawi, Al-Maqāshid Al-Hasanah..., Jilid. 2, hal. 400
[13] Ibnu Al-Mubarrad, Bahr al-Dam, (Maktabah Syamilah), Hal. 58
[14] HR. Abu Nu’aim, No. 1105, Tārikh Ashbahān, (Maktbah Syamilah), Jilid. 2, hal. 66
[15] Imam Al Bukhari, No. 837, Al-Tārikh Al Kabir, (Maktabah Syamilah), Jilid. 3, hal. 244. Lihat juga kitab Imam Bukhari lainnya, No. 110 Al-Dhu’afa Al-Shaghir, (Maktabah Syamilah), Jilid. 1, hal. 42. Lihat juga Al-‘Uqaili, No. 458, al-Dhu’afa li al-Uqaili,  Jilid. 2, hal. 35.
[16] Khairuddin Al-Zarkili, Al-A’lam li al-Zarkili, (Maktabah Syamilah), Jilid. 2, hal. 334

[17] Al-Dzahabi, No. 2646, Mizan Al-I’tidal, (Maktabah Syamilah), Jilid. 2, hal. 20
[18] Abdurrahman bin Abi Hatim, No. 1931, Al-Jarh wa al-Ta’dil, (Maktabah Syamilah), Jilid. 3, hal. 424
[19] Al-Albani, No. 1059, Al-Silsilah Al-Dhaifah wa al-Maudhu’ah, (Maktabah Syamilah)
[20] Ibnu Rajab Al-Hambali, No. 836, Fathul Bari, Bab. Mawqi’ Ruh Al-Islam, (Maktabah Syamilah)  
[21] HR. Al-Baihaqi dengan sanad shahih.
[22] Ibid.
[23] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar